By Eko NP Andi | Saturday, December 23, 2006
Posted in: | 0 komentar

Mom..., I Love You

Kau relakan waktumu untukku
Kau regang nyawamu untukku
Kau relakan mimpi malammu hanya untuk redakan tangisku

Kau selalu ada saat aku membutuhkanmu
Bahkan kau rela atas semua caci yang kadang keluar dari mulutku
Tak pernah kau mengeluh atas semua sikapku

Kini baru ku tahu, hadirmu bagiku
Kau sungguh penerang hidupku
Kau adalah panutan bagiku

Maafkan aku bunda...
Atas semua sikapku
Atas semua perbuatanmu

Bunda kaulah idolaku
Kaulah matahariku
Bunda Selamat hari Ibu

dari Ananda

Read more
By Eko NP Andi | Sunday, September 24, 2006
Posted in: | 0 komentar

Yakinkan Aku...

Aku tahu...
Ya, aku sudah lama tahu itu...
Semua itu... Entah apa aku tak tahu,

Atau aku tak mau tahu?

Karena aku yakin...
Ya, keyakinan itu...
Keyakinan yang aku tak tahu kapan berasal mula
Keyakinan yang aku tak tahu darimana datangnya
Keyakinan yang selama ini membelengguku untuk selalu menunggu
Keyakinan yang selama ini coba untuk aku enyahkan
Tapi, tak bisa...

Sering aku tergoda untuk berpaling
Menikmati kasih yang lain
Namun, selalu saja keyakinan itu... (yang aku tak tahu berapa besarnya)
Memaksa aku untuk meneguhkan hati
Bersabar, mungkin itu sudah cukup untuk menghiburku

Dan kini...
Setelah semua waktu yang berjalan
Setelah semua yang telah terlewat
Dengan atau tanpamu
Aku masih meyakinkan hati dan ragaku
Untuk tetap menunggumu

Naif...
Ya, terlalu naif memang
Toh, kenaifan-kenaifan itulah yang membangun keyakinanku selama ini
Toh, kenaifan itu tak mengurangi rasa sayangku padamu

Jadi, kenapa sampai hari ini kau tetap diam?Atau aku yang selama ini diam?
Tak kau sambut cintaku?Atau aku yang selama ini tak tahu sambutan cinta itu?
Jadi, sekarang aku ingin kau tahu itu. Semua perasaan ini.

Yakinkan aku, jika selama ini aku salah memilihmu.
Yakinkan aku, jika selama ini aku selalu jadi penganggumu
Yakinkan aku, jika selama ini kau tak merasa seperti yang kurasa
Yakinkan aku, bahwa kau bukan yang dipilihkan-Nya untukku
Yakinkan aku, wahai perempuanku...


03. 30 WIB
Malang
, 23 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 1 komentar

Untuk Seseorang Di Sana

Apa kabarmu hari ini?
Semoga keceriaan masih bersamamu
Menemani hari-harimu
Semoga masih bisa ku tatap senyum dari bibirmu

Apa kabarmu kemarin?
Semoga waktu yang berlalu indah bagimu
Menumbuhkan semangat untuk keesokan harinya
Semoga masih bisa kupandang tatap mata penuh semangat itu

Apa kabarmu hari ini?
Semoga sakit itu cepat berlalu
Menanti berharap cemas akan berlalu derita itu
Semoga masih bisa kutemui sosok tegar dibalik tubuh sakit itu

Semoga masih bisa ku tatap sosok tegar dibalik tubuh itu
Sosok selalu jadi misteri bagiku
Sosok yang tetap tegar walau pahit sebenarnya terasakan hidup
Namun senyum, keramahan itu menyirnakan semua kepahitan itu
Hilang seolah tak pernah ada

Lekas sembuh ya…?

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 0 komentar

Adalah...

Adalah sebuah pilihan
Ketika aku memutuskan untuk menaruh hati padamu
Membiarkan semua rasa berkecamuk tentangmu
Membiarkan malamku selalu dihantui oleh dirimu

Adalah sebuah keyakinan
Ketika kupercayakan hati ini mencintaimu
Membiarkan semua keluh kesah semburat kepadamu
Membiarkan celotehmu membanggakanku

Adalah sebuah kegalauan
Ketika membulatkan tekadku memilikimu
Membiarkan mulut ini jujur padamu
Membiarkan gumpalan rasa ini tumpah padamu

Adalah sebuah pilihan
Ketika aku memilih tetap memilihmu
Membiarkan semua kegalauan itu
Membiarkan pilihan dan keyakinanku
Berakhir padamu.

I can erase U from my life. I ever tried this. And unsuccessful.
I can’t leave your face from my memory.
And I hope U now if I’m really really love you.
Trust me.

Malang, 10 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 1 komentar

I know, (If) I can

Oke, aku gak tau kenapa jadi mellow begini. Abis mbaca novelnya Ninit “Test Pack” kok gak tau kenapa perasaan jadi aneh begini. Walaupun sebelumnya juga udah aneh sie... :). Abis novelnya bagus banget. Membaca novel itu membuat terhanyut ama suasana yang dibangun ibu beranak satu itu. Kita disadarkan bahwa sebuah pernikahan gak cukup hanya dinilai dari berapa banyak harta yang kita punya, berapa anak yang udah berhasil ditetaskan (emangnya ayam...). Lagi-lagi sebuah komitmen menjadi pilihan terakhirnya. Keberhasilan sebuah pernikahan gak cukup jika hanya diukur dari kehadiran seorang anak. Saling mengerti dan mengenal satu sama lain adalah jawaban terakhir dari semuanya. Untuk membuka kunci sebuah kamar bernama komitmen.
Yah, cinta memang tak hanya bisa diukur oleh segala sesuatu yang bisa dihitung, bisa divisualkan. Kadang memang sesuatu yang tak logis, childish malah bisa menjadi sebuah garansi kelanggengan. Tak selamanya logika harus mendominasi. Tak selamanya pula hal-hal diluar itu tak berarti. Ada saatnya logika mengalah. Terlalu sering berlogika malah semakin memperumit keadaan. Keep enjoy with your love. It’s that too simple for it. Yeah I know but I believe it’s enough.Enough. Try.
Membaca novel itu mengingatkan aku pada seseorang yang ada disana. Perempuan yang selama ini selalu jadi motivator dalam hidupku. Terlalu berlebihan kali ya..., tapi itulah kenyataannya. Dan sampai detik ini perempuan ini masih menjadi motivator. Walaupun sampai detik ini dia tetap tak membiarkan hatinya untuk menoleh padaku. But I believe she’ll become my girlfiend. Hanya kalimat itu yang selama ini aku hafalkan, ketika semua pesimistis mulai menggelantungi.
Kesal juga sih, melihat semua respon yang ia berikan. Harapan-harapan yang aku susun selalu saja hancur olehnya. Semua laku yang ia tampakkan membuat keyakinan itu menipis. Tapi keyakinan itu masih ada, walaupun tak tahu sebesar apa. I try to keep survive with this matter. Tapi, teman-teman selalu marah ketika aku menceritakan tentangya. Tentang bagaimana respon yang diberikannya. Tentang bagaimana timbal balik dari semua perhatianku. Selalu yang muncul dari mulut mereka adalah ucapkan “lupakan”, “tinggalkan”, “cari yang lain saja lah”. Maaf teman, untuk kali ini aku tak mendengarkan kata-katamu. Karena aku (masih) yakin akan keputusanku.


01. 45 WIB
Malang, 11 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, September 07, 2006
Posted in: | 1 komentar

Ketakutan Itu...

Masih ingat dulu diawal-awal kepengurusan. Ketika timbunan semangat berserakan disana-sini. Ketika otak masih dipenuhi oleh ketamakan (ingin melakukan segalanya dan sebanyak-banyaknya). Semua keinginan itu membuncah dan memuncrat begitu saja. Akhirnya, hanya untuk mengejar kata "lebih baik dari kemarin" semua keinginan itu teragendakan dalam kalender.
Muncul banyak ketakutan disitu. Ketakutan-ketakutan yang kadang tak terkatakan oleh lisan. Ketakutan yang kadang tak beralasan, tapi dapat dijelaskan oleh logika. Tapi kemudian-setelah berbicara dengan beberapa teman- kuputuskan untuk coba menyingkirkan ketakutan itu.
Sebuah ketakutan muncul tatkala IOF akan diadakan. Seperti biasa setiap tahun acara ini rutin digelar, yah semacam seremonial tahunan memperingati dies natalies organisasi. Dalam forum rapat seringkali coba untuk kusanggah pendapat teman-teman untuk menyelenggarakan acara ini. Alasan yang aku lontarkan tak jauh-jauh. Melongok ke belakang acara itu setiap tahunnya selalu membawa mudharat. Ambil contoh majalah, setiap kali ada acara ini bisa dipastikan majalah akan bertekuk lutut dihadapannya. Menyingkirkan sejenak keinginannya untuk sesering mungkin diterbitkan. Akibat dari banyaknya SDM yang tersedot. Padahal sebuah lembaga pers dinilai bukan dari banyak dan gedenya acara seremonial atau kegiatan tahunannya, tapi dari media terbitannya. Baik intensitas maupun kualitas.
Aku jadi paham sekarang. Kenapa mahasiswa fakultas ini terlalu cuek dengan majalah Indikator? Yach salah satu faktor penyebabnya apalagi kalau bukan terlalu seringnya majalah absen dari kehidupan mereka. Sudah bahasannya bisa membuat otak orang awam mengkerut, tak pernah terbit pula. Akibat yang diperoleh? Jelas kekecewaan bagi yang tertarik akan majalah ini, sehingga mulai lupa dan lama kelamaan enggan untuk membaca. Lalu yang cuek bebek akan majalah semakin tak mengenal. Bagus.
Kini, ketakutan itu agaknya mendekati kenyataan. Majalah berantakan. Tergarap sih, tapi masih menyisakan ironi. Sense terhadap majalah mulai berkurang (kalau tak mau disebut tak ada). Ah, apapun itu aku tetap pada prinsip awalku menerbitkan majalah sesuai kesepakatan. Tapi, ketika aku ngotot untuk menggarap majalah yang lain sudah pada sibuk di seremoni. Kupaksakan untuk tetap jalan walau hanya dengan beberapa orang. Tapi lagi-lagi sebuah celetukan menyesakkan mampir ke telinga ini, "kok majalah terkesan makin ekslusif?", atau "emang dengan orang segitu, keputusannya valid?" Untuk pertanyaan pertama. Keinginan untuk membuat kesan ekslusif untuk majalah adalah harga mati. Karena, inilah tempat kita untuk menunjukkan pada dunia luar siapa kita. Sebuah lembaga pers mahasiswa yang dinilai dari kualitas medianya bukan dari EO-EOannya. Aku tak mau ambil pusing dengan kata-kata miring mereka. Toh, aku tetap bersandar pada komitmen MATI (kalau ada yang masih ingat), komitmen kita bersama. Pertanyaan kedua tak perlu dijawab kan? sudah barang tentu valid. Dasarnya apa? lagi-lagi komitmen teman-teman dulu saat merengek minta seremonial tahunan itu diadakan. Waktu itu aku ingat betul semuanya setuju untuk tetap berkomitmen pada majalah walaupun seremonial sialan itu diadakan. Nyata kini? jawab sendiri.
Kini, yang tersisa adalah keputusasaan. Kelelahan. Tak salah jika seorang Ferdi harus menyerah. Ketika semangat menggebu-gebu untuk menerbitkan beberapa edisi, akhirnya harus menerima kenyataan hanya menerbitkan satu majalah akibat seremoni itu tadi. Kini aku tak tahu lagi harus bagaimana. Putus asa aku dengan semua ini. Aku pun tak yakin akan masa depanku di organisasi ini.
Haruskah bertahan atau mundur. Bertahan dengan sejuta beban atau mundur sebagai pecundang. Mundurpun tak masalah bagiku. CV bukan yang aku cari di organisasi, kebanggaan iya tapi akan sia-sia jika mengandalkannya, jabatan? no, tapi pengabdian dan cita-cita untuk membuat organisasi ini lebih baik.
Buat teman-teman indikator yang nyasar ke blog ini atau ada bujukan setan untuk membuka blog ini, PR kita Majalah 41 sudah terbit dan belum nyampai ke mahasiswa gimana kalau kita bakar saja? setuju? Gimana kalau majalah edisi selanjutnya ditiadakan saja? setuju gak? kan enak gak usah repot-repot bikin tema, dikejar-kejar deadline, gak usah ngeliat Pimred jelek itu mutung, yang pasti enjoy aja. Enak banget. Aku juga ngelu rek, dikasih beban 3 majalah. Gak salah kalo orang tua-tua itu bilang jabatan Pimred itu terkutuk banget.
Buat teman-teman indie 2005, maaf kalau aku terlalu cuek dengan acara kalian.Buat teman-teman yang laen maaf bukan bermaksud menjelek-jelekkan tapi itulah kenyataannya.

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, September 07, 2006
Posted in: | 0 komentar

Senyum sejuta...

Senyuman membawa sejuta prasangka dan pesan. Tak selamanya senyuman selalu menggambarkan kepuasan, keceriaan, dan kebahagiaan. Terkadang senyuman juga terasa menyakitkan. Karena senyum tetap membawa misteri. Tak semua senyum setulus rupanya. Terkadang indah dalam nyata, tapi sesak terasa di dada.
Misteri rupa senyum itu kini menghantuiku. Membakar api dendam, api persaingan yang tajam. Senyum mengejek lebih tepatnya. Terasa sekali menumbuhkan adrenalinku, adrenalin untuk membalikkan semua yang dimunafikkannya, tak diakuinya, atau tak diakuinya.
Kadang kita terlena oleh sebuah senyum, yang kadang kita sendiri masih harus berprasangka, harus bertarung melawan mata hati mengartikan maksud senyuman itu. Sebuah anugrah bagi kita ketika berhasil mengartikan bahwa senyum darinya tulus. Akan jadi masalah ketika senyum itu bertepuk sebelah tangan, ketika tiba-tiba pilihan kita salah. Ternyata senyumnya menyakitkan.
Pekerjaan rumah bagiku dan mungkin sebagian orang lainnya. Untuk mengartikan sebuah senyum.

Read more
By Eko NP Andi | Tuesday, September 05, 2006
Posted in: | 0 komentar

Mata Itu...

Ketika tatapan seolah menghakimi. Terasa sesak dalam dada, menggelapakan satu sisi nurani. Sorot mata itu. Ya, aku takut. Takut sekali. Aku merasa asing, seolah aku berada pada sebuah tempat yang sama sekali baru bagiku. Aku merasa salah. Semua yang aku lakukan salah. Serba salah lebih tepatnya. Logika sudah tak bisa diajak berkompromi lagi. Tiap kali ia mengajak untuk meluruskan, lagi-lagi makhluk merah bertanduk itu muncul dan meracuni setiap mili pembuluh di darahku. Prasangka. Yup, itulah dia.
Sah-sah saja kita berprasangka. Apalagi pada sorot mata itu. Mata sejuta manusia. Mata-mata yang tak dapat kuartikan maksudnya. Tak dapat kutangkap sinyal apa yang dia berikan padaku.
Kosong. Seperti itulah, ketika sorot mata mereka memandangku. Kecil. Aku jadi kecil dihadapan mereka.
Ingin rasanya aku keluar dari semua prasangka itu dan mencoba bersikap acuh pada semua itu. Aku yakin aku bisa. Tapi, entah kenapa seluruh tubuhku terasa berat. Ketika sorot mata mereka menghujamku. Tak kuasa melawan sorot matanya. Dan tak kuasa untuk menolaknya. Yah, akhirnya sebuah tempat di pojok ruangan akan jadi tempatku meringkuk. Meringkuk dalam kesendirian. Terasing dalam sebuah komunitas.
Hemm… Cukup!!! Kini aku tak akan peduli. Terserah mata itu mau menatapku seperti apa. Aku hanya tahu satu “aku percaya dengan semua tindakanku”.

Read more
By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Kisah si Jamal, anak yatim dari Jogja

Siang itu tanggal 04 Juli 2006 sekitar pukul 11.30 WIB, relawan Portalinfaq Jogjakarta sampai di tenda (rumah sementara) berwarna kuning yang sangat sederhana. Disekitar tenda tersebut masih terdapat reruntuhan puing-puing bangunan rumahnya yang hancur tak tersisa ketika musibah gempa 27 Mei 2006 lalu memporak-porandakan Jogja dan Jateng. Ruangan yang hanya berbentuk kubus ini, terdapat satu buah kasur yang ditempati 3 orang anggota keluarga yang selamat dari musibah gempa, satu buah meja yang sederhana yang diatasnya terdapat buku-buku pelajaran, pakaian-pakaian pun masih berserakan, juga perabot rumah tangga yang belum sempat dirapikan.

Dengan sangat ramah Ibunya Jamal, yang bernama Ponidah (38 Tahun) pemilik tenda itu mempersilahkan kami dengan begitu ramah, senyumnya begitu lepas seolah-olah tanpa beban. Padahal dibalik senyuman itu, beliau menyimpan begitu banyak beban, rumah yang tak berbentuk lagi, biaya pendidikan anak, biaya hidup sehari-hari, dan masih banyak lagi beban-beban yang harus dipikul perempuan ini. Dalam kesehariannya ibu dengan satu orang anak dan neneknya Jamal yang berusia 78 tahun ini, bekerja sebagai penjual jadah (makanan kecil berupa; tempe goreng, tahu goreng dan lain-lain) di pasar Pujokusuman Jogjakarta (pasar yang terletak di dekat Jokteng Wetan Jln. Parangtritis).

Setiap pagi dini hari pukul 02.00 wib, ibu ini harus sudah bangun dari istirahatnya mempersiapkan barang dagangannya sampai dengan adzan subuh, setelah sholat dan mempersiapkan sarapan bagi nenek dan putra kesayangannya dia langsung menuju tempat ia bekerja, yang tempatnya lebih dari 30 km. Di Pasar Pujokusuman Jogjakarta inilah dia menjajakan barang dagangannya. Sekitar pukul 13.00 wib dia harus pulang dan melakukan pekerjaan rumah yang masih tersisa. Begitulah rutinitas yang harus dijalani oleh Ibu Ponidah, walaupun dalam satu harinya beliau hanya mendapatkan keuntungan bersih dari Rp. 5000,- s/d Rp. 10.000,-. Beliau rela menjalani rutinitas ini, karena sejak berumur 1,5 tahun Jamal (putra satu-satunya), ibu ini harus berperan sebagai ibu sekaligus bapak dalam keluarga ini.

Sama seperti teman-teman yang lain, sabtu 01 Juli 2006 yang lalu Jamal menerima raport sekolah. Dari raut mukanya terlihat sangat gembira sekali, karena tahun ini dia berhasil naik kelas 2 SD. Kegembiraan tersebut, tentulah menjadi beban sendiri bagi Ponidah karena ia harus mempersiapkan biaya, berbagai perlengkapan sekolah yang dipakai putranya itu. Alhamdulillah beban pendidikan putranya ini sedikit terkurangi ketika Kamis, 29 Juni 2006 yang lalu, LAZ Portalinfaq menyelenggarakan sebuah program upaya recovery pendidikan yang dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Jetis. Dalam acara tersebut, Jamal mendapatkan santunan pendidikan berupa: buku tulis, pensil, penghapus dan tas sekolah, serta beasiswa untuk satu tahun.

Dalam pesan dan kesannya yang disampaikan Jamal, dia sangat menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang diberikan saudara/panitia PortalInfaq. Semoga santunan yang tidak seberapa ini dapat benar-benar meringankan beban keluarga penrima santunan, khususnya Ibu Ponidah dan keluarga.
Itulah sepenggal kisah dari salah seorang penerima beasiswa Pendidikan. Salah seorang dari ratusan anak yatim piatu yang membutuhkan uluran tangan mulia kita. Maka sebagai tindak lanjut & tanda kasih sayang, LAZ Portalinfaq akan mendirikan “Pondok Yatim Untuk Jogja”.

Sumbangsih para Muzakki apapun bentuknya sangat kami harapkan, agar anak-anak yatim di Jogja bisa tersenyum sumringah, melupakan duka dan trauma sabtu kelabu itu…

Bagi yang peduli dan empati silahkan salurkan bantuan anda ke :
1. Bank BCA Cab. Arteri Pondok Indah, No. 291-300-5244
2. Bank Mandiri Cab. Kuningan, No. 124-000-107-9798
3. Bank Syariah Mandiri Cab. Warung Buncit, No. 003-006-7066
Semua atas nama Yayasan PortalInfaq.
Informasi tentang Program “Pondok Yatim Untuk Jogja” bisa menghubungi:
Kantor LAZ Portalinfaq Jakarta 021-7278 6073
CP: 08158767071 (Wahyu)
Posko Portalinfaq Jogjakarta 0274-450 576
CP: 081548624128 (Mujiyono)

Read more
By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Sulitnya Memotret Busung Lapar

Oleh : Sri Palupi

Simaklah potret anak busung lapar di bawah ini. Sebut saja namanya Silvana. Umurnya belum mencapai tiga tahun. Kesan sekilas, wajah anak itu menghindari sorot kamera. Beberapa kali saya memotret anak busung lapar, hasilnya tidak jauh beda. Tak satupun dari anak-anak itu yang wajahnya menghadap kamera. Mengapa bisa demikian? Apakah anak-anak itu takut pada sorot kamera? Ataukah mereka malu? Atau barangkali anda menduga mereka terganggu dengan kilatan blitz yang menyilaukan itu? Sama sekali tidak!! Masalahnya bukan pada diri anak-anak itu, tetapi pada pemegang kamera. Bukan anak-anak itu yang takut pada kamera, tapi pemegang kameralah yang tak punya keberanian menatap wajah anak-anak itu.


Bayangkan seandainya andalah pemegang kamera itu. Dengan kamera di tangan anda, rasanya siapapun siap anda bidik. Tidak demikian yang terjadi kalau saja anda menatap wajah anak-anak busung lapar. Barangkali apa yang anda alami tidak berbeda jauh dengan pengalaman saya memotret anak-anak itu. Ketika mata kamera saya mengarah ke wajah anak-anak itu, sebilah pisau tajam serasa melesat dari sorot mata mereka: “Mengapa saya?” “Mengapa kau biarkan saya seperti ini?” Sebagai orang dewasa, saya tak siap menghadapi gugatan setajam itu. Karenanya saya tak pernah bisa bertatap mata dengan anak-anak itu lewat kamera saya. Saya memotret anak-anak itu tanpa menatap wajahnya. Dengan cara seperti itu, setidaknya saya masih bisa memotret tubuh mereka tanpa harus menghadapi sorot mata mereka.
Jangankan menatap sorot mata. Melihat sosok tubuh belia yang renta itu saja rasanya butuh keberanian ganda. Anak-anak busung lapar itu hadir dengan wajah gelisah dan rewel. Mereka lapar, tapi tubuhnya tak kuasa menyerap makanan biasa. Setiap suap yang disodorkan secara paksa pada mulutnya, ia muntahkan kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Tak seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Namun dari wajahnya kita bisa membaca siratan rasa sakit luar biasa. Lapar dan sakit membuat anak-anak itu menangis dan terus menangis. Lapar telah merampas, bukan saja bobot tubuh anak-anak itu, tetapi juga umur mereka. Simaklah sekali lagi tubuh Silvana. Siapa menyangka ia belum tiga tahun. Meski belum tiga tahun umurnya, tubuh itu telah menyusut dan mengemban kerentaan seorang nenek tua yang kenyang makan asam garam dunia. Tragis.
Sebenarnya baru enam hari aku mengenal Silvana. Ia kutemui dalam perjalanan ke Sumba Barat pada September 2005 untuk menjajagi masalah busung lapar di daerah itu. Saat kutemui ia terbaring lemah di satu bangsal rumah sakit di daerah Weteebula, Sumba Barat, NTT. Aku tinggal di salah satu kamar di rumah sakit itu, persis di belakang bangsal anak, tempat Silvana dirawat akibat marasmus. Dalam enam hari aku tinggal di rumah sakit itu, setidaknya dua kali sehari aku memandang wajah anak itu dan menyaksikan tubuhnya lunglai kelelahan. Dua kali sehari pula setidaknya aku melihatnya menangis luar biasa. Kusebut luar biasa, karena yang terjadi sebenarnya bukanlah tangisan, tetapi jeritan kencang.

Tataplah sekali lagi wajah anak itu. Bukankah otot muka dan lehernya menegang dan membesar layaknya orang berteriak atau menjerit? Meski menangis dan terus menangis, tak sebutir air mata pun meluncur dari pelupuk matanya. Meski menjerit lagi dan lagi, ruangan tempat ia dibaringkan tetaplah sunyi. Padahal dari ruang lain orang bisa dengar suara tangis anak-anak susul menyusul beradu keras. Sementara tak seorangpun mendengar tangis lirih Silvana, betapapun ia sudah sudah menjerit. Ada yang salah dengan pita suaranya. Tampaknya busung lapar tak hanya menggerogoti tubuh dan otak Silvana, tetapi juga memakan air mata dan rintih tangisnya. Anehnya para pengunjung di rumah sakit itu terusik, bukan oleh suara keras anak-anak di bangsal sebelah tapi oleh teriakan sunyi gadis cilik yang tengah didera kesakitan akibat busung lapar. Para pengunjung turut bersimpati atas derita Silvana, namun tak satupun dari mereka yang kuasa mendekat. Apalagi menyentuhnya. “Tak tahan melihatnya”, komentar mereka. Kalau melihat dari dekat saja sudah tidak tahan, bisa anda bayangkan keberanian macam apa yang dibutuhkan untuk membidik anak busung lapar dengan wajah menghadap kamera? Terlebih bagi orang-orang macam aku ini, yang tak biasa dengan kamera. Meskipun setiap hari aku menengok Silvana, namun keberanian untuk memotretnya baru muncul di menit terakhir menjelang kepulanganku ke Jakarta. Potret itu pun terasa sekenanya.

Sembilan bulan berlalu setelah aku memotret Silvana. Kini satu angan-angan mengalir dari ruang batinku. Andai busung lapar tidak menelan habis air mata, rintihan dan jeritan anak-anak itu, tentulah jerit tangis seorang anak marasmus macam Silvana sudah cukup menggerakkan siapa pun untuk melakukan apa pun demi menghindarkan setiap anak dari ancaman busung lapar. Sayang, yang terjadi tidaklah demikian. Derita jutaan anak busung lapar di berbagai pelosok negeri ini masih dianggap sepi. Sebab tangis mereka tanpa air mata dan jeritan mereka tanpa suara.

Seandainya saja saya punya keberanian lebih, akan saya hadirkan setidaknya dua sorot mata Silvana lewat bidikan kamera saya. Siapa tahu sorot mata itu masih bisa menggerakkan siapa saja untuk melakukan apa saja demi anak-anak itu. Siapa tahu pula ada kamera-kamera lain yang juga tergerak untuk menghadirkan sejuta sorot mata anak busung lapar di sejuta tempat yang lain. Barangkali dengan hadirnya jutaan sorot mata anak-anak busung lapar yang dari tahun ke tahun terus bertambah itu, membuat bangsa ini dapat menyikapi masalah busung lapar sebagai tragedi yang sepantasnya ditangani secara serius. Penanganan serius hanya bisa dibuktikan dengan dijalankannya pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan. Selama ini penanganan masalah busung lapar cenderung dijalankan dengan pendekatan proyek, bersifat emergency dan tidak mengatasi masalah. Terbukti, angka penderita busung lapar di NTT, misalnya, sampai sekarang terus bertambah meski milyaran rupiah sudah dikucurkan. Sayangnya, saya hanyalah seorang pengecut. Menghadirkan dua sorot mata saja saya tak mampu.

* Penulis adalah Ketua Institute for Ecosoc Rights, peserta program pasca sarjana STF Driyarkara.
** Foto: Sri Palupi, September 2005
*** Dari indoprogress.blogspot.com

Read more
By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Sakit 1/2 Jiwa


Penulis: Endang Rukmana
Jumlah halaman: 274 hlm
Cetakan: 1
Tahun terbit: 2006
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-031-8





Jika suatu hari di jalan kota atau pelosok desa elo-elo pada ketemu seorang remaja pake jaket buluk, T-Shirt putih yang udah lecek, atau kemeja warna abu-abu taik kucing, jeans rombeng yang nyaris jamuran, jas hujan warna ijo taik kuda, sepatu TNI warna item, menyandang blue-night ransel, dan berkepala botak! Panggil aja dia: “Hei, Bob!” Maka remaja bandel itu akan menoleh, tersenyum, dan…, PLTAKK!!!!!—menjitak kepala lo dengan sadisnya (bukan menjabat tangan lo dengan eratnya), seraya berkata: “Aduh Bro, apa kabar, ke mana aja lo nggak keliatan? Ditelen Satpam Ancol ye?!”…..“Elo tuh sakit ye!”“Sakit apaan, Mon?”“SAKIT JIWA, tau!”“Kayaknya sih iya, tapi cuma setengah sih!”“Wah, bener-bener sakit nih orang! Nggak ngerti gue Bob!”“Iya Mon, gue sakit jiwa, tapi cuma setengah!”“Sakit 1/2; jiwa, gitu? Mana ada, woy!”…..Bermula dari rasa penasarannya pada pesan gaib dari Si Kakek Bijak, Bobi memutuskan melakukan perjalanan ke tanah Baduy untuk menemukan kubur ari-arinya. Perjalanan ini adalah sebuah proses pencarian jati diri. Ari-ari Bobi yang dikuburkan di Baduy, bagi Bobi adalah bagian darinya yang tercecer; setengah jiwanya yang belum ia temukan.

Bobi merasa ada panggilan batin. Ia harus menemukan kubur ari-arinya itu, seperti seorang bajak laut yang bersikeras menemukan harta karun. Tetapi apa yg dicari Bobi bukan sembarang harta karun. Harta karun berwujud ari-ari yang sudah lumat ditelan bumi Sasaka Domas itu, semacam harta karun jiwa (soul treasure) yang akan membawa padanya sebuah jejak dari masa lampau.

Namun, pada saat yang sama, Bobi dihadapkan pada pertanyaan Monda, gebetannya: “Apa sih yang LEBIH BERARTI dari GUE? Harta karun Fir’aun? Berlian peninggalan Cleopatra? Harta rampasan perang Napoleon?!”

Dalam perjalanannya ini, yang seolah tak lebih dari gairah berlebih seorang remaja eksentrik, Bobi bersama tokoh-tokoh lainnya mengalami berbagai peristiwa seru, cinta lokasi, serta begitu banyak kekonyolan yang akan mengocok perut pembaca.
Lantas, apakah perjalanan Bobi memang bermakna sebagai pencarian setengah jiwanya (terapi sakit ½ jiwanya!). Atau seperti kata Monda: “A HALF OF YOUR FOOLISHNESS, Bob!”*
*) Resensi oleh penulis via e-mail (so, gak promosi lho ?)
Well, membaca novel ini serasa jadi orang tolol. Megang buku, sambil ketawa2 sendiri. Asli nih novel kocak abis. Selain itu qt jg jadi tau budaya yang ada di tanah Sunda, en Badui. Nilai plus lagi perbendaharaan bahasa sunda gw nambah...! gratis lagi, gak pake kursus2an.

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, July 01, 2006
Posted in: | 1 komentar

Latian lagiiiii..........

Selamat bwt Mother Hope !

Setelah beberapa minggu vakum dari bermusik, karena kesibukan masing-masing personil (sok sibuk banget sih! hehe....), akhirnya qta bisa ngejam bareng lagi. Gatel banget tangan ini, udah selama vakum itu gak nggebuk drum set. Yach, walopun telat. :-p
Oke, kapan lagu keduanya kelar ?

Harapan :
Rekaman, manggung (kapan?), yup harapannya sie bisa besar lah pokoke en Mother Hope punya jam terbang, gak cuman di Studio adja. tapi gak jadi cari drummer baru kan...? (memelas) hehehe....








Read more
By Eko NP Andi | Thursday, June 29, 2006
Posted in: | 1 komentar

Dan Ketika...

Dan ketika...
Semua yang kau lakukan
Semua yang kau berikan
Membuat aku kagum

Dan ketika…
Apa yang kau beri
Apa yang kau lakukan
Membuat aku tegar

Kini…
Semua yang kau lakukan
Semua yang kau beri
Membuat aku serba salah
Bingung

Kini…
Salahkah Jika aku ragu ?

Ragu untuk menentukan pilihanku.

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, June 29, 2006
Posted in: | 0 komentar

Ketika Si Keledai Berteriak

Malam itu, di sebuah rumah. Di ruang belakang dari rumahnya, di depan kotak berwarna yang mengeluarkan bunyi serta gambar yang mereka sebut televisi. Terjadi percakapan antara suami dengan istrinya. Percakapan yang wajar antara keduanya. Topik malam itu tak jauh dari anak-anak mereka. Kali ini giliran si sulung yang jadi topik diskusi malam itu. Si sulung yang berada di ruang tengah tak sengaja mendengar percakapan mereka, memperhatikan dengan seksama percakapan itu. Buku yang ada di tangannya sudah tak menarik lagi baginya. Percakapan orang tuanya lebih menarik. Didengarkannya dengan seksama, sambil tetap membaca.
Betapa terkejutnya si sulung ketika dua orang yang diidolakannya itu mengkhawatirkan dirinya. Hal yang wajar terjadi pada orang tua pada anaknya, begitu pikir si sulung. Mereka kecewa dengan buah hatinya. Bagaimana “harapan” bagi mereka itu ternyata tak sesuai dengan harapan. Buah hatinya telah berubah. Emosi sang buah hati labil-mudah marah, terlalu angkuh pada orang sekitarnya, selalu membantah orangtuanya. Sahut menyahut pasangan suami istri itu, saling menambahkan argumennya tentang sulung. Sang suami kemudian menyalahkan istrinya yang terlalu memanjakan sulung, tapi yang dituduh berapologi. “kalau tidak dituruti nanti semakin berbuat yang nggak-nggak.” Jawabnya datar. Ada rasa sayang dari jawabannya. Perasaan seorang ibu pada anaknya.
Si sulung yang sedari tadi mendengarkan, tersudut. Perasaannya teriris, pedih. Orang yang dihormatinya kecewa terhadapnya. Tapi dia mengamini kata-kata mereka. Benar. Tapi jauh di lubuk hatinya ada yang mereka tak mengerti tentangnya. Sulung mencoba berargumen dengan dirinya sendiri. Dia menjadi seperti yang dibicarakan kedua orang tuanya juga karena mereka, selain juga orang-orang di sekitarnya.
Ingatan si sulung melayang. Teringat ke masa kecilnya. Bagaimana dia di”sisihkan” oleh saudaranya, tak hanya satu tentunya. Bagaimana dia harus jadi keledai, yang (harus) rela digoblok-goblokkan di depan lingkungan keluarga. Bagaimana dia harus jadi saksi kelemahannya. Terurai air matanya mengingat hal itu. Luka lama yang selalu coba dia kubur rapat menyembul kembali. Kemarahan akhirnya menghapus air matanya. Kemarahan pada saudara dari ibunya yang selalu menganggapnya tak pernah ada, walaupun nyatanya dia berada di lingkungan mereka. Sulung ingin menuntut keadilan. Sebagai manusia dia juga berhak mendapatkan perhatian yang sama dengan yang lainnya. Mendapatkan apa yang lainnya dapatkan. Sebagai manusia dia juga ingin dipuji, dihargai, tak selalu dicaci.
Kemarahan pada merekalah yang membuatnya selalu haus akan pengakuan. Semua yang dilakukannya hanya untuk itu. Tak lebih. Semua tindakannya, tak lazim bagi saudara seumurannya. Ya, dia lakukan itu untuk diakui. Dia teringat akan apa yang pernah dibacanya bahwa manusia adalah sosok yang selalu ingin diakui oleh lingkungannya. Bergaul adalah salah satu caranya. Begitu menurut yang dia baca. Hanya untuk mendapat pengakuan dia rela melakukan apa yang tak pernah dilakukannya. Termasuk berorganisasi. Dia sadar jika dirinya terlalu pemalu, terlalu pendiam, tapi menghanyutkan maka dia butuh sebuah media untuk menyalurkannya.
Memasuki masa perkuliahan aktivitas di kemahasiswaan tak ia lewatkan. Proses pencarian jati diri dimulai, begitu katanya. Keyakinan adalah dirinya. Dia yakin inilah cara untuk bisa diakui, terutama oleh orang-orang yang telah membuat luka baginya. Dia ingin membuktikan pada mereka bahwa “ini lho orang yang dulu kalian pandang sebelah mata”. Membuktikan bahwa mereka salah. Titik. Baginya tak ada kebanggaan lain selain itu.
Sulung berhenti untuk sejenak. Lelah mencaci orang-orang brengsek itu, begitu katanya. Dia hanya berharap mereka bisa memandangnya. Dia selalu yakin bahwa dia bisa. Optimis, kerja keras, selalu terbuka pada hal baru, selalu tertantang adalah sifat si sulung. Jika terbentuk kesan angkuh, sombong itu adalah pemicu lahirnya sifat-sifat itu dan percayalah itu hanya penampakan luarnya.
Sulung kemudian berbisik pada hatinya. Aku mohon maaf pada kedua orang tuaku. Aku berjanji akan berubah. Menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Dalam hati dia berharap tak akan mengecewakan orang tuanya. Dan dia juga ingin agar orang tuanya mengerti dirinya. Bahwa apa yang menurut mereka (orang tuanya) mengecewakan adalah jalan yang telah dia tempuh. Dan dia yakin tak pernah salah memilih, hanya mereka belum mengerti apa yang dia yakini. Sulung menginginkan orang tuanya untuk membebaskan apa yang di yakini benar, karena toh senakal-nakalnya sulung tak akan pernah berani melakukan yang melanggar norma.
Untuk ibunya sulung meminta maaf tiga kali, dan sekali untuk ayahnya. Karena begitulah rasulullah pernah bersabda. Terakhir “biarkan aku bebas menentukan pilihanku sendiri, biarkan aku berlari mengejar impianku”. Begitu yang diinginkan si sulung pada orang tuanya. Ia teringat kata-kata dari seorang Kahlil Gibran “kita bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tak bisa besar tanpa kebebasan”.

Malang, 28 Juni 2006
01.53 WIB

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, June 24, 2006
Posted in: | 0 komentar

Refleksi

Ketika semuanya tak sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Jangan pernah menyalahkan jika kemudian banyak orang memandang sinis. Kepercayaan mereka terhadap kita akan menurun, bahkan hilang. Jangan pernah protes. Sebab itulah kenyataan dari apa yang telah kita perbuat.

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, June 22, 2006
Posted in: | 0 komentar

Jogja, Piye Kabare Dab...!

Sepuntenipun ingkang kathah anggenipun telat ngucapaken Turut Berbela Sungkawa kagem para korban gempa dek tanggal 27 Mei kepungkur. Mugi dipun paringi ketabahan dumateng para warga Jogja.
Oh, inggih kagem Mbah Dawami kulo ngaturaken mugi dipun paringi kekuatan ngadepi musibah meniko. Emut kaleyan omonganipun Bapak dumateng kulo "Allah mboten maringi cobaan ingkang mboten saged dipun adepi kagem umate".
Musibah meniko namung sentilan sithik saking ingkang mahakuasa, mugi dipun paringi kesabaran ngadepi musibah meniko lan kaliyan musibah meniko monggo kita sareng2 ningkataken iman kita dumateng ingkang nggadahi urip lan waras.
Semanten kemawon saking kulo. Ayo bangkit Jogja!

Read more
By Eko NP Andi | Tuesday, May 23, 2006
Posted in: | 0 komentar

Sorry I Love U

Well, aq lgee naksir ma seorg ce neeh. Dy aq knal waktu qta sama2 terlibat dlm kepanitian kegiatan penerimaan Maba. Sbenernya aq sebelumnya gak ngenal sapa dy, ya aq taunya cmn anak2 prnah blg da ank cakep hanya sekilas wkt itu wajahnya mampir ke mata. Knal ama dy standart aj sie, ya sekadar knal berhubung qta dlm satu divisi ya mau nggak mau kudu knal kan? Ketertarikan itu dimulai wktu pelaksanaan, aq liat2 nie cewe asyik jg deh, beda ma yg laennya (cewe' aja, cowo' gak termasuk !!). Tapi, kmudian aq gak mo larut dlm perasaan sialan itu. Mengingat misiq d kepnitiaan bkn cari cewek, prasaan ini coba utk aq singkirin. Dan, berhasil.
Tapi, keberhasilan itu gak bertahan lama ternyata sampai detik inipun ternyata aq msh kepikiran trus ama dy (Ampun deh!). Lagian aq jg minder mo deketin dy. Bayangin sodara2, dy tu orgnya ckep, kepribadiannya menarik, sementara aq?ancur abisss (mending ancur, ini ancur banget malah), gak sedikit yg pgn dekatin dy (sapa lg yg g mau ma org ckep, ya gak?). Tercatat beberapa org tmn prnh berusaha PeDeKaTe dy, dan berakhir dg reaksi yg gak pgn d alamin oleh para cowok. Padahal di bandingin ma tmn2q dr semua sisi (kanan, kiri, atas, bwh) aq g da apa-apanya. Aq jd minder. Padahal sifat inilah yg aq benci.
Sbenernya aq msh pny kans dpetin dy, coz dy lg kosong. Tp apa gak kyk punguk merindukan es coca cola ya ? hehehe...
Trakhir aq mo blg "Sorry I Love U" krn membuat km gak nyaman ats smua ini, membuat km terganggu dg smua ini, but aq bnr2 menginginkanmu. Itupun klo km mau. Klo gak buang aj jauh2. Anggap gak pernah terjadi.

Read more
By Eko NP Andi | Friday, April 21, 2006
Posted in: | 0 komentar

So.....

Kadang, aku baru sadar bahwa dalam kesendirianku cuma ada kamu.
Kadang, aku juga sadar bahwa kesibukanku menjauhkanku darimu.
Menjauhkanku dari kehidupanmu.
Menjauhkan dan mengaburkan arti hadirmu.

Seolah kau tak ada
Seolah aku tak butuh kamu
Seolah aku mampu jalani semua tanpamu

Namun,
Kesendirian kadang membangunkanku
Menyadarkanku
Membuka mataku

Bahwa kamu amat berarti bagiku
Bahwa aku butuh kamu
Butuh canda tawamu
Butuh senyum manismu
Butuh pengertianmu
Butuh kasih sayang darimu
Butuh keyakinan darimu
Butuh dukungan darimu

So,
Hanya kamu.
So,
Kutunggu kamu.
So,
Terserah kamu.
So,
I Love You.

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, April 01, 2006
Posted in: | 0 komentar

Buruk...

Kmaren Rabu gw nonton konsernya "Garasi" ama anak2 indikator. Well, aksi panggung mereka oke punya untuk ukuran pendatang baru. Apalagi drummernya asyik abis, gak salah klo dy jadi the best se- Jabotabek, pukulannya mantep abis. Ya, walopun agak gimana gtu, karena gak pke bass jadi tendangannya kurang kerasa. Berisik banget, pokoknya. Tapi, sebenernya gw gak niat nonton Garasi. Gw sebenernya pengen ngeliat langsung aksi panggungnya anak2 C4 (bwt yg blm tau band ini pemenangnya Indiecaholic 2005). Wow, keren abis deh aksi panggungnya. Terhitung inilah band lokal yang bisa bikin penonton jingkrak2 bareng. Klo aja Garasi bukan band ibukota udah tenggelam ama C4, yach untungnya mereka band utama jadi masih terselamatkan.
Sebelumnya hari senin, suntuk gak tau mo ngapain akhirnya gw cabut ke Gramedia Alun2(padahal waktu itu gw gak punya duit sama sekali-ya ada seeh tp cuman bwt ngangkot) sendirian aja. Setelah puter2 bwt survey buku yang bakal di beli bulan depan selama dua jam akhirnya gw cabut. Gw gak langsung cabut coz angkotnya masih ngetem, gw putusin bwt berteduh di bawah pohon beringin yang udah nancep sejak gw blom laer itu. Rokok tinggal sebiji, gw isep sambil di temani dua sejoli sialan yang asyik mojok di depan gw.
Pas lagi asyik2nya ngisep eh datang sesosok wanita bertubuh agak besar (klo g mau d blg gendut), berumur kira-kira 45 tahunan gitu, dengan dandanan menor abis (ato abis menor ya...hehe), sumpah gak matching banget tuh bentuk tubuh ama dandanan en ama umurnya. Gw udah ngerasa yang gak enak gtu. Eh tanpa salam tanpa ketok pintu (emang gw d rmh ?) Dianya kemudian nyeletuk pake bahasa jawa yg klo di terjemahin ke bhasa indo kurang lebih seperti ini "wah enaknya masnya, klo duduk." Seolah tanpa semangat ku kasih senyum yang agak2 maksa, bwt nyenengin dy. Eh, keterusan man. Duduk d samping gw lalu ngomong lgi, "Mas bobok bareng yuk ?" kmd d sambung lg "nanti saya pijitin deh, d hotel belakang situ lo murah" Wuekks, gile aja gw mo bobok ama dy. Mending klo gw mau niat kaya' gtu, gw cari yang agak segeran dikit napa ? Gak modal banget man tidur ama orang yang seumuran ama ibu gw itu. Dgn sedikit sopan (jgn banyak2 sopannya) gw tolak aja permintaan konyol ntu. Wuih, bagi gw najis abis gw nglakuin yang kayak gtu. Gw jd ingat kata2 Bapak "jaga iman, dan kelakuanmu". Semoga aja gw bisa mempertahanin kepercayaan orang tuaku itu.
Btw, sebenernya kasihan ma orang2 seperti itu yang di usia yang udah nggak muda lagi mereka rela bwt ngejual tubuhnya. Mereka yang seharusnya di rumah bwt ngisi hari2nya malah nongkrong di public area itu. Sebenernya klo mereka mau berusaha lebih keras lagi mereka bisa bekerja yang lebih layak daripada harus ngejual tubuh reot mereka itu. Buat Pemkot gmn nih penanganan bwt para penjaja seks nanggung itu? So, bwt tmen2 ati2 ya klo ke alun2 kota sendirian ?
Oke, sampai hari ini blom ngelakuin penembakan seperti yang gw janjiin ama tmen2 dan ama diri gw sendiri. Gw, masih (klo g mau dibilang nggak sama sekali) gak bisa ngungkapin perasaan gw ama dy. Pesonanya terlalu hebat hingga mbikin gw kebingungan klo d depan, di samping, d atasnya. Apalagi senyum itu lo...kurang ajar banget semakin membuat gw terdiam gak bisa ngomong, gak bisa tereak, gak bisa lari2, en gak bisa apa-apa lg. Well, sekarang gw gak mo janji kapn gw nembak tp yg pst gw bakal ngedapetin dy.

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, March 08, 2006
Posted in: | 2 komentar

About my Heart

Allow, semuanya....akhirnya ngepost lagi. Abisan hari ini suntuk mulu karena gak ada kerjaan and nemu duit 5 ribu perak di kantong ya udah daripada terus2an suntuk cabut aja ke warnet.
Bingung nih...gimana ya ngomongnya...kok gak enak.
Aku lagi bingung masalah asmara nih. Sumpah gw bingung banget. Sebenernya dari lubuk hati yang paling dalem gw pengen pacaran lagi, mengingat udah 2 tahun ngejomblo dan gw sebenernya nggak masalah dengan status itu. Tapi, gw juga pengen kala gw da masalah ato lagi pengen curhat ada yang mau dengan tulus ngedengerin. Apalagi sekarang gw bawaannya suntuk mulu, untung aja gw masih waras, nggak pernah minta bunuh diri kalo lagi kumat suntuknya. Apalagi kalo ngeliat anak2 pada bawa istrinya masing2 pas nongkrong ato papasan wuih jadi geregetan ngeliatnya (dalam hati pengen gw bunuh tuh dua makhluk biadab hehe).
Sebenernya gw juga udah punya inceran and tau gak inceran itu udah gw incer (tp gak sempet ngintip) lama. Lama banget malah, ada kali kalo 50 tahun (gak ding!), ya kalo mau diitung maybe 2 tahunan lah. Sejak gw masih maba sampe skrg udah bangkotan di kampus. Selama itu pula gw blom brani ngomong ama dia. Bukannya takut tapi kuatir di tolak (apa bedanya ya?), tapi yang pasti gw blom brani nanggung efeknya klo ternyata gw di tolak. Kan, gak lucu klo ntar ada berita "Gara2 di tolak cewek seorang mahasiswa jelek, jelek banget malah, ditemukan mati bunuh diri nyebur ke selokan". Tapi yang pasti gw sayang banget ma nih cewek, wuih sayang banget malah, ampe gw bela2in, beladiri (gak nyambung ya, emang nggak!!), sabar nunggu selama dua tahun. Dari yang awalnya gak ada respon sampai ada sedikit respon, dari awalnya gw miskin sampai sekarang masih miskin hehe, gw rela lakuin bwt nih cewek karena gw seneng banget ama dia.
Semua yang dia lakukan amat berarti bagi gw, semua sifat yang melekat ama dia menarik banget. Walopun kadang dia bengal juga tp ga' papalah.
Kemarin2 pengen ngungkapin perasaan ini ke dia tapi ya itu tadi gw blm sanggup-klo gak mau di bilang nggak sanggup-nanggung akibatnya. BTW, temen2 gw udah pada males klo gw cerita tentang cewek ini. Males ngedengerin rencana2 gw mo nembak, yg mo pake AKA 46, pistol maenan adek gw, sampe balok kayu (kok kayak mo berantem aja).
BTW, gw udah janji ama diri gw sendiri 'n ma temen2 gw yang isinya adalah (background music : derereng !!!) Batas waktu penembakan adalah akhir bulan ini. Nah lo, sebenernya ngimpi apa seh semalem kok jadi gila begini. Bwt semuanyaminta dukungannya ya...ketik TMBK(spasi)kodok(spasi)bisa!! kirim ke 3877 he..he.. kayak kontes2an aja. Dukung Ane Ya!!!!

Read more
By Eko NP Andi | Tuesday, March 07, 2006
Posted in: | 0 komentar

Tentang Seseorang...

Kulitnya sudah banyak mengeluarkan gelambir menandakan usianya yang tak muda lagi, tapi semangatnya itu mampu mengalahkan mahasiswa kl ngetik d komputer. Cekatan, dan gak pernah mau nganggur. Pokoknya ada aja yang dikerjaiin. Sampai-sampai senampun dilakonin, walopun kondisi fisik dah mulai melemah. Namun, akhir Januari lalu konodisi beliau semakin memburuk, n seluruh kaluarga was-was. Sampai akhirnya berita menyesakkan dada itu datang. Saat itu gw baru bangun tidur.
Itulah yang aku rasain sekarang. Gimana nggak ? salah satu orang tercinta akhirnya harus meninggalkan aku and semua orangyang dia kasihi. Yang jelas selama-lamanya. Ya, nenekku hari Rabu, 5 Maret meninggal dunia. Sedih banget, man. mengingat beliau adalah satu-satunya nenekku yangmasih kupunyai setelah ortu dari ibuku meninggal 2002 lalu. And sebenarnya beliau udah ngasih firasat ma aku , tapi dasar bego guanya yang nggak nangkep sinyal dari beliau. Ceritanya kan aku abis pulang dari Jakarta tanggal 7 Februari '06 n mampir dulu ke Blitar coz ibu' gw nelpon ktnya nenek sakit, ya udah ke Blitar dulutapi nyampe Blitar keburu malem n gak bisa ketemu ma nenek baru besoknya, itupun hanya beberapa menit karena gw harus balik ke malang n lagian bangunku kesianganso, cuman ketemu berapa menit. Abis sarapan pamitan mo cabut, beliau kayaknya gak mau ngelepasin tangan gw, kayaknya kok berat banget gitu gw tinggalin beliau menanyakan apa kamu masih ke sini le? (mengingat gw dah beberapa bulan gak ke Blitar) eh, 3 minggu kmd, telpon dari seberang berbunyi 'n memanggil-mangil nama gw. And lemaslah gw.Kayaknya kesialan masih betah bertahan ngendon dalam diriku. Lengkap deh yang lo ilangin. Sekedar konfirmasi aja, gw baru aja keilangan duit (yang pasti buanyak), hp (pencurinya gw sumpahin stress lu), Eh..., sekarang salah satu orang yang gue hormatin telah menghembuskan nafas terakhirnya.Selamat Jalan Mbah Putri, Do'a ku akan slalu menyertaimu. Amien.

-dibalik musibah selalu ada hikmah-
yang ngomong aku lho, klo yg ngomong pertama itu siapa aku gak tau.
ya maap klo dicatut.

Read more
By Eko NP Andi | Tuesday, February 28, 2006
Posted in: | 0 komentar

Untitled

well, ngenet lagee setelah dua minggu berturut2 bokek he..he..
nggak banyak yang bisa aku ceritain di blog ini, kejadian-kejadian minggu2 ini. Maybe, meratapi kesialan selama 2 minggu itu.... yap, bayangin aja selama itu aku gak megang duit sama sekali gak bisa seenaknya memanjakan diri sampe makanpun aku harus numpang. yah, untungnya aku masih dianugerahin teman2 yang baek hati (dan tidak sombong tentunya) yang mo bayarin makan ato numpang makan dirumahnya. merana banget man, kalo lagi gak punya duit. rasanya hidup ini mo kiamat aja, aku jadi nyadar gimana ya rasanya mereka yang gak setiap hari megang duit, yang gak setiap hari bisa makan itu. saat itu aku sadar betapa berartinya uang, betapa berartinya menghemat duit, kesadaran yang hanya akan aku peroleh jika sedang gak punya duit tapi kalo lagi da duit wuah...gak inget lagi deh masa2 susah itu. boro2 mo inget, yang ada malah gimana caranya bisa bales dendam derita saat bokek. well, bisa di tebak membelanjakan uang dengan royal adalah jawabannya.
kemarin temenku(temen sesama anak Persma) dari Jakarta dateng, kaget banget. gimana nggak ada angin nggak ada hujan ada tamu yang gak di undang (sori ya nov, btw jangan tersinggung ya...). dia masih aja rame kayak ondel2, gak berubah sama sekali dari pertama kenal sampai sekarang, gak ada perubahan yang signifikan sama sekali. karena bertindak sebagai tuan rumah yang baek (dan gak sombong lagi), akhirnya kuajak mereka jalan2 menikmati kota Malang (yang kata mereka gak dingin). Kuajak aja mereka jalan2 ke Payung, Batu, ujan2an lagi. berempat kami berangkat kesono, payung yang biasanya rame karena hujan jadi sepi. disana dua orang jakarta itu mulai ngerasa kalo mereka salah, buktinya mereka kedinginan. sukurin lo, sapa suruh bilang Malang gak dingin.
Oke, maybe untuk saat ini cukup sampai disini ya.... Bwt Novi, Hani, 'n Anggi jangan lupa kalo ke Malang lagi mampir ya.... and salam bwt tmn2 di Didaktika (Salam Persma!!! Salam 1/2 Merdeka!!!)

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, February 18, 2006
Posted in: | 0 komentar

Nggak Ada Judul

Well, akhirnya ngeblok lagee.
Selama seminggu ini pulang kampung serasa pergi ke neraka hiks...hiks... Lha gimana nggak wong niatnya mo refreshing 'n sitirahat dari hiruk pikuknya dunia persilatan, eh perkuliahan, eh malah di rumah jadi obyek penderitaan (terlalu berlebihan ya, nggak papa wis). Di rumah mama yang emang udah dari sononya cerewet (sori ma), nyalurin bakatnya ma aku, yang di omelin lah, di bodo2in lah (emang dasarnya bodo :p) rasanya nggak banget deh. Kok kayaknya idupku nggak ada yang bener-benernya di matanya (mata ibuku, bukan mata mu). Yach, untung aja masih di anggep anak he...he... coba kalo abis di omelin trus di kluarin dari keluarga, wuah bisa berabe, bisa-bisa nggak dapet warisan he..he..
But, ada juga kisah yang mengharukan.hiks...hiks...(ikutan nanggis dong, biar seru hehe). Itu tuh si Bungsu sakit, kasian banget ngeliatnya. Ngeliat dia tergolek di kasur, nggak berdaya, yang biasanya dia nakalnya minta mampus eh bisa juga sakit. Panas badannya wuih luar biasa, kalo di ukur2 nih seandainya di kasih wajan di kepalanya 'n di ceplokin telor bisa jadi telor dadar. N mungkin masuk sebagai salah satu inovasi pemanfaatan energi panas tubuh, itung2 ngurangin ketergantungan dari BBM. Pertama liat diagnosa dari Lab katanya gejala DBBDJMA (Demam Berdarah Biadab Dan Jahatnya Minta Ampun) so, orang serumah pada panik,sepanik orang kebakaran. Akhirnya, sama ibu dokter yang baik hati dan murah senyum (IDYBHDMS) di saranken untuk periksa ke RS. Eh, bukannya di bawa ke RS malah ke Puskesmas (habisnya RSnya jauh jack, lagian udah jam 12 siang) 'n di sana dianya (adekku, bukan Puskesmas) di suruh rawat inap. Kata dokternya seeh biar lebih mudah di kontrolnya 'n sambil ngeliat perkembangannya. Jadilah dia (adekku, bukan dokter) di rawat di sana selama 2 hari 'n U know aku kebagian tugas nunggu juga, tapi nungguin Rumah hehehe coz mama 'n papa nungguin di Puskesmas. Yach, setelah dua hari di rawat 'n hasil Lab nunjukin kalo dia udah lebih baik akhirnya dia di bolehin pulang. Dan diagnosa terakhir dia kena Gejala Typus.
Setelah keadaan si bungsu agak mendingan aku mutusin balik ke Malang, mumpung belom di marahin lagi hehehe. Lagian Adekku yang kedua dah di rumah jadinya aku bisa agak tenang.
Oke, kayaknya udah dulu buat kisah yang satu ini baca cerita selanjutnya setelah pesan-pesan di Tipi.

Read more
By Eko NP Andi | Monday, February 06, 2006
Posted in: | 0 komentar

Hujan

Hari-hari ini masih saja di warnai hujan, sampai-sampai aku menghindar dari Malang ke Jakarta eh masih di kejar hujan, lari ke Jogja di ikutin. Dasar hujan, Setia banget ngikut gak-gak aku gak selingkuh.he...he.... mang makhluk apaan pacaran ma aer.
Kayaknya hujan lagi jadi primadona buat bahan omelan orang-orang di bumi. Lha gimana nggak, kehadirannya yang nggak di arepin bikin semua agenda yang telah tertata berantakan. Mau contoh, Om No (langganan makanku di Kampus) gak jadi buka gara2 ujan, nah rencana buat ngutang terhambat, lalu Badrus-teman di Indikator-gak jadi ke Indi gara2 ujan, rencanaku buat pinjem duit gagal. Tapi beruntung, hujan juga menyelamatkanku dari kekejaman rentenir, gara2 ujan seharian aku gak jadi balikin duit si Ichsan he..he.., abis di tungguin seharian gak nongol2 ya udah.
Tapi hujan juga mengakibatkan sodara2 kita mengalami musibah, yang banjir lah, longsor lah, tapi banjir juga bikin kita sadar bahwa semua musibah datangnya dari kita sendiri. Teledor menjaga kebersihan, ngrawat taneman, and buang sampah sembarangan-di kelas, di kali, di celana dalem..ups). He he jadi inget iklan salah satu rokok, Eh pas lagi banjir dengan wajah tanpa berdosa si aparat pemerintahan senyam-senyum waktu ngumumin banjir telah datang, kalo waktu itu aku di situ udah kulempar tu aparat. Bukannya nolongin eh ngetawain. Setan. Lah kok jadi marah ya....
Mudah-mudahan hujan segera menyingkir berganti panas yang menyengat, sama gak enaknya sebenarnya. Paling nggak kita bisa kluar2 n gak ke ganggu pipisnya Zeus dari langit he he. Oya, sodara2 jangan lupa 3M, banyak banjir banyak DB. ati2 ya.

Read more