By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Kisah si Jamal, anak yatim dari Jogja

Siang itu tanggal 04 Juli 2006 sekitar pukul 11.30 WIB, relawan Portalinfaq Jogjakarta sampai di tenda (rumah sementara) berwarna kuning yang sangat sederhana. Disekitar tenda tersebut masih terdapat reruntuhan puing-puing bangunan rumahnya yang hancur tak tersisa ketika musibah gempa 27 Mei 2006 lalu memporak-porandakan Jogja dan Jateng. Ruangan yang hanya berbentuk kubus ini, terdapat satu buah kasur yang ditempati 3 orang anggota keluarga yang selamat dari musibah gempa, satu buah meja yang sederhana yang diatasnya terdapat buku-buku pelajaran, pakaian-pakaian pun masih berserakan, juga perabot rumah tangga yang belum sempat dirapikan.

Dengan sangat ramah Ibunya Jamal, yang bernama Ponidah (38 Tahun) pemilik tenda itu mempersilahkan kami dengan begitu ramah, senyumnya begitu lepas seolah-olah tanpa beban. Padahal dibalik senyuman itu, beliau menyimpan begitu banyak beban, rumah yang tak berbentuk lagi, biaya pendidikan anak, biaya hidup sehari-hari, dan masih banyak lagi beban-beban yang harus dipikul perempuan ini. Dalam kesehariannya ibu dengan satu orang anak dan neneknya Jamal yang berusia 78 tahun ini, bekerja sebagai penjual jadah (makanan kecil berupa; tempe goreng, tahu goreng dan lain-lain) di pasar Pujokusuman Jogjakarta (pasar yang terletak di dekat Jokteng Wetan Jln. Parangtritis).

Setiap pagi dini hari pukul 02.00 wib, ibu ini harus sudah bangun dari istirahatnya mempersiapkan barang dagangannya sampai dengan adzan subuh, setelah sholat dan mempersiapkan sarapan bagi nenek dan putra kesayangannya dia langsung menuju tempat ia bekerja, yang tempatnya lebih dari 30 km. Di Pasar Pujokusuman Jogjakarta inilah dia menjajakan barang dagangannya. Sekitar pukul 13.00 wib dia harus pulang dan melakukan pekerjaan rumah yang masih tersisa. Begitulah rutinitas yang harus dijalani oleh Ibu Ponidah, walaupun dalam satu harinya beliau hanya mendapatkan keuntungan bersih dari Rp. 5000,- s/d Rp. 10.000,-. Beliau rela menjalani rutinitas ini, karena sejak berumur 1,5 tahun Jamal (putra satu-satunya), ibu ini harus berperan sebagai ibu sekaligus bapak dalam keluarga ini.

Sama seperti teman-teman yang lain, sabtu 01 Juli 2006 yang lalu Jamal menerima raport sekolah. Dari raut mukanya terlihat sangat gembira sekali, karena tahun ini dia berhasil naik kelas 2 SD. Kegembiraan tersebut, tentulah menjadi beban sendiri bagi Ponidah karena ia harus mempersiapkan biaya, berbagai perlengkapan sekolah yang dipakai putranya itu. Alhamdulillah beban pendidikan putranya ini sedikit terkurangi ketika Kamis, 29 Juni 2006 yang lalu, LAZ Portalinfaq menyelenggarakan sebuah program upaya recovery pendidikan yang dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Jetis. Dalam acara tersebut, Jamal mendapatkan santunan pendidikan berupa: buku tulis, pensil, penghapus dan tas sekolah, serta beasiswa untuk satu tahun.

Dalam pesan dan kesannya yang disampaikan Jamal, dia sangat menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang diberikan saudara/panitia PortalInfaq. Semoga santunan yang tidak seberapa ini dapat benar-benar meringankan beban keluarga penrima santunan, khususnya Ibu Ponidah dan keluarga.
Itulah sepenggal kisah dari salah seorang penerima beasiswa Pendidikan. Salah seorang dari ratusan anak yatim piatu yang membutuhkan uluran tangan mulia kita. Maka sebagai tindak lanjut & tanda kasih sayang, LAZ Portalinfaq akan mendirikan “Pondok Yatim Untuk Jogja”.

Sumbangsih para Muzakki apapun bentuknya sangat kami harapkan, agar anak-anak yatim di Jogja bisa tersenyum sumringah, melupakan duka dan trauma sabtu kelabu itu…

Bagi yang peduli dan empati silahkan salurkan bantuan anda ke :
1. Bank BCA Cab. Arteri Pondok Indah, No. 291-300-5244
2. Bank Mandiri Cab. Kuningan, No. 124-000-107-9798
3. Bank Syariah Mandiri Cab. Warung Buncit, No. 003-006-7066
Semua atas nama Yayasan PortalInfaq.
Informasi tentang Program “Pondok Yatim Untuk Jogja” bisa menghubungi:
Kantor LAZ Portalinfaq Jakarta 021-7278 6073
CP: 08158767071 (Wahyu)
Posko Portalinfaq Jogjakarta 0274-450 576
CP: 081548624128 (Mujiyono)

Read more
By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Sulitnya Memotret Busung Lapar

Oleh : Sri Palupi

Simaklah potret anak busung lapar di bawah ini. Sebut saja namanya Silvana. Umurnya belum mencapai tiga tahun. Kesan sekilas, wajah anak itu menghindari sorot kamera. Beberapa kali saya memotret anak busung lapar, hasilnya tidak jauh beda. Tak satupun dari anak-anak itu yang wajahnya menghadap kamera. Mengapa bisa demikian? Apakah anak-anak itu takut pada sorot kamera? Ataukah mereka malu? Atau barangkali anda menduga mereka terganggu dengan kilatan blitz yang menyilaukan itu? Sama sekali tidak!! Masalahnya bukan pada diri anak-anak itu, tetapi pada pemegang kamera. Bukan anak-anak itu yang takut pada kamera, tapi pemegang kameralah yang tak punya keberanian menatap wajah anak-anak itu.


Bayangkan seandainya andalah pemegang kamera itu. Dengan kamera di tangan anda, rasanya siapapun siap anda bidik. Tidak demikian yang terjadi kalau saja anda menatap wajah anak-anak busung lapar. Barangkali apa yang anda alami tidak berbeda jauh dengan pengalaman saya memotret anak-anak itu. Ketika mata kamera saya mengarah ke wajah anak-anak itu, sebilah pisau tajam serasa melesat dari sorot mata mereka: “Mengapa saya?” “Mengapa kau biarkan saya seperti ini?” Sebagai orang dewasa, saya tak siap menghadapi gugatan setajam itu. Karenanya saya tak pernah bisa bertatap mata dengan anak-anak itu lewat kamera saya. Saya memotret anak-anak itu tanpa menatap wajahnya. Dengan cara seperti itu, setidaknya saya masih bisa memotret tubuh mereka tanpa harus menghadapi sorot mata mereka.
Jangankan menatap sorot mata. Melihat sosok tubuh belia yang renta itu saja rasanya butuh keberanian ganda. Anak-anak busung lapar itu hadir dengan wajah gelisah dan rewel. Mereka lapar, tapi tubuhnya tak kuasa menyerap makanan biasa. Setiap suap yang disodorkan secara paksa pada mulutnya, ia muntahkan kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Tak seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Namun dari wajahnya kita bisa membaca siratan rasa sakit luar biasa. Lapar dan sakit membuat anak-anak itu menangis dan terus menangis. Lapar telah merampas, bukan saja bobot tubuh anak-anak itu, tetapi juga umur mereka. Simaklah sekali lagi tubuh Silvana. Siapa menyangka ia belum tiga tahun. Meski belum tiga tahun umurnya, tubuh itu telah menyusut dan mengemban kerentaan seorang nenek tua yang kenyang makan asam garam dunia. Tragis.
Sebenarnya baru enam hari aku mengenal Silvana. Ia kutemui dalam perjalanan ke Sumba Barat pada September 2005 untuk menjajagi masalah busung lapar di daerah itu. Saat kutemui ia terbaring lemah di satu bangsal rumah sakit di daerah Weteebula, Sumba Barat, NTT. Aku tinggal di salah satu kamar di rumah sakit itu, persis di belakang bangsal anak, tempat Silvana dirawat akibat marasmus. Dalam enam hari aku tinggal di rumah sakit itu, setidaknya dua kali sehari aku memandang wajah anak itu dan menyaksikan tubuhnya lunglai kelelahan. Dua kali sehari pula setidaknya aku melihatnya menangis luar biasa. Kusebut luar biasa, karena yang terjadi sebenarnya bukanlah tangisan, tetapi jeritan kencang.

Tataplah sekali lagi wajah anak itu. Bukankah otot muka dan lehernya menegang dan membesar layaknya orang berteriak atau menjerit? Meski menangis dan terus menangis, tak sebutir air mata pun meluncur dari pelupuk matanya. Meski menjerit lagi dan lagi, ruangan tempat ia dibaringkan tetaplah sunyi. Padahal dari ruang lain orang bisa dengar suara tangis anak-anak susul menyusul beradu keras. Sementara tak seorangpun mendengar tangis lirih Silvana, betapapun ia sudah sudah menjerit. Ada yang salah dengan pita suaranya. Tampaknya busung lapar tak hanya menggerogoti tubuh dan otak Silvana, tetapi juga memakan air mata dan rintih tangisnya. Anehnya para pengunjung di rumah sakit itu terusik, bukan oleh suara keras anak-anak di bangsal sebelah tapi oleh teriakan sunyi gadis cilik yang tengah didera kesakitan akibat busung lapar. Para pengunjung turut bersimpati atas derita Silvana, namun tak satupun dari mereka yang kuasa mendekat. Apalagi menyentuhnya. “Tak tahan melihatnya”, komentar mereka. Kalau melihat dari dekat saja sudah tidak tahan, bisa anda bayangkan keberanian macam apa yang dibutuhkan untuk membidik anak busung lapar dengan wajah menghadap kamera? Terlebih bagi orang-orang macam aku ini, yang tak biasa dengan kamera. Meskipun setiap hari aku menengok Silvana, namun keberanian untuk memotretnya baru muncul di menit terakhir menjelang kepulanganku ke Jakarta. Potret itu pun terasa sekenanya.

Sembilan bulan berlalu setelah aku memotret Silvana. Kini satu angan-angan mengalir dari ruang batinku. Andai busung lapar tidak menelan habis air mata, rintihan dan jeritan anak-anak itu, tentulah jerit tangis seorang anak marasmus macam Silvana sudah cukup menggerakkan siapa pun untuk melakukan apa pun demi menghindarkan setiap anak dari ancaman busung lapar. Sayang, yang terjadi tidaklah demikian. Derita jutaan anak busung lapar di berbagai pelosok negeri ini masih dianggap sepi. Sebab tangis mereka tanpa air mata dan jeritan mereka tanpa suara.

Seandainya saja saya punya keberanian lebih, akan saya hadirkan setidaknya dua sorot mata Silvana lewat bidikan kamera saya. Siapa tahu sorot mata itu masih bisa menggerakkan siapa saja untuk melakukan apa saja demi anak-anak itu. Siapa tahu pula ada kamera-kamera lain yang juga tergerak untuk menghadirkan sejuta sorot mata anak busung lapar di sejuta tempat yang lain. Barangkali dengan hadirnya jutaan sorot mata anak-anak busung lapar yang dari tahun ke tahun terus bertambah itu, membuat bangsa ini dapat menyikapi masalah busung lapar sebagai tragedi yang sepantasnya ditangani secara serius. Penanganan serius hanya bisa dibuktikan dengan dijalankannya pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan. Selama ini penanganan masalah busung lapar cenderung dijalankan dengan pendekatan proyek, bersifat emergency dan tidak mengatasi masalah. Terbukti, angka penderita busung lapar di NTT, misalnya, sampai sekarang terus bertambah meski milyaran rupiah sudah dikucurkan. Sayangnya, saya hanyalah seorang pengecut. Menghadirkan dua sorot mata saja saya tak mampu.

* Penulis adalah Ketua Institute for Ecosoc Rights, peserta program pasca sarjana STF Driyarkara.
** Foto: Sri Palupi, September 2005
*** Dari indoprogress.blogspot.com

Read more
By Eko NP Andi | Monday, July 17, 2006
Posted in: | 0 komentar

Sakit 1/2 Jiwa


Penulis: Endang Rukmana
Jumlah halaman: 274 hlm
Cetakan: 1
Tahun terbit: 2006
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-031-8





Jika suatu hari di jalan kota atau pelosok desa elo-elo pada ketemu seorang remaja pake jaket buluk, T-Shirt putih yang udah lecek, atau kemeja warna abu-abu taik kucing, jeans rombeng yang nyaris jamuran, jas hujan warna ijo taik kuda, sepatu TNI warna item, menyandang blue-night ransel, dan berkepala botak! Panggil aja dia: “Hei, Bob!” Maka remaja bandel itu akan menoleh, tersenyum, dan…, PLTAKK!!!!!—menjitak kepala lo dengan sadisnya (bukan menjabat tangan lo dengan eratnya), seraya berkata: “Aduh Bro, apa kabar, ke mana aja lo nggak keliatan? Ditelen Satpam Ancol ye?!”…..“Elo tuh sakit ye!”“Sakit apaan, Mon?”“SAKIT JIWA, tau!”“Kayaknya sih iya, tapi cuma setengah sih!”“Wah, bener-bener sakit nih orang! Nggak ngerti gue Bob!”“Iya Mon, gue sakit jiwa, tapi cuma setengah!”“Sakit 1/2; jiwa, gitu? Mana ada, woy!”…..Bermula dari rasa penasarannya pada pesan gaib dari Si Kakek Bijak, Bobi memutuskan melakukan perjalanan ke tanah Baduy untuk menemukan kubur ari-arinya. Perjalanan ini adalah sebuah proses pencarian jati diri. Ari-ari Bobi yang dikuburkan di Baduy, bagi Bobi adalah bagian darinya yang tercecer; setengah jiwanya yang belum ia temukan.

Bobi merasa ada panggilan batin. Ia harus menemukan kubur ari-arinya itu, seperti seorang bajak laut yang bersikeras menemukan harta karun. Tetapi apa yg dicari Bobi bukan sembarang harta karun. Harta karun berwujud ari-ari yang sudah lumat ditelan bumi Sasaka Domas itu, semacam harta karun jiwa (soul treasure) yang akan membawa padanya sebuah jejak dari masa lampau.

Namun, pada saat yang sama, Bobi dihadapkan pada pertanyaan Monda, gebetannya: “Apa sih yang LEBIH BERARTI dari GUE? Harta karun Fir’aun? Berlian peninggalan Cleopatra? Harta rampasan perang Napoleon?!”

Dalam perjalanannya ini, yang seolah tak lebih dari gairah berlebih seorang remaja eksentrik, Bobi bersama tokoh-tokoh lainnya mengalami berbagai peristiwa seru, cinta lokasi, serta begitu banyak kekonyolan yang akan mengocok perut pembaca.
Lantas, apakah perjalanan Bobi memang bermakna sebagai pencarian setengah jiwanya (terapi sakit ½ jiwanya!). Atau seperti kata Monda: “A HALF OF YOUR FOOLISHNESS, Bob!”*
*) Resensi oleh penulis via e-mail (so, gak promosi lho ?)
Well, membaca novel ini serasa jadi orang tolol. Megang buku, sambil ketawa2 sendiri. Asli nih novel kocak abis. Selain itu qt jg jadi tau budaya yang ada di tanah Sunda, en Badui. Nilai plus lagi perbendaharaan bahasa sunda gw nambah...! gratis lagi, gak pake kursus2an.

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, July 01, 2006
Posted in: | 1 komentar

Latian lagiiiii..........

Selamat bwt Mother Hope !

Setelah beberapa minggu vakum dari bermusik, karena kesibukan masing-masing personil (sok sibuk banget sih! hehe....), akhirnya qta bisa ngejam bareng lagi. Gatel banget tangan ini, udah selama vakum itu gak nggebuk drum set. Yach, walopun telat. :-p
Oke, kapan lagu keduanya kelar ?

Harapan :
Rekaman, manggung (kapan?), yup harapannya sie bisa besar lah pokoke en Mother Hope punya jam terbang, gak cuman di Studio adja. tapi gak jadi cari drummer baru kan...? (memelas) hehehe....








Read more