Posted in:
By Eko NP Andi 1 komentar

Ketakutan Itu...

Masih ingat dulu diawal-awal kepengurusan. Ketika timbunan semangat berserakan disana-sini. Ketika otak masih dipenuhi oleh ketamakan (ingin melakukan segalanya dan sebanyak-banyaknya). Semua keinginan itu membuncah dan memuncrat begitu saja. Akhirnya, hanya untuk mengejar kata "lebih baik dari kemarin" semua keinginan itu teragendakan dalam kalender.
Muncul banyak ketakutan disitu. Ketakutan-ketakutan yang kadang tak terkatakan oleh lisan. Ketakutan yang kadang tak beralasan, tapi dapat dijelaskan oleh logika. Tapi kemudian-setelah berbicara dengan beberapa teman- kuputuskan untuk coba menyingkirkan ketakutan itu.
Sebuah ketakutan muncul tatkala IOF akan diadakan. Seperti biasa setiap tahun acara ini rutin digelar, yah semacam seremonial tahunan memperingati dies natalies organisasi. Dalam forum rapat seringkali coba untuk kusanggah pendapat teman-teman untuk menyelenggarakan acara ini. Alasan yang aku lontarkan tak jauh-jauh. Melongok ke belakang acara itu setiap tahunnya selalu membawa mudharat. Ambil contoh majalah, setiap kali ada acara ini bisa dipastikan majalah akan bertekuk lutut dihadapannya. Menyingkirkan sejenak keinginannya untuk sesering mungkin diterbitkan. Akibat dari banyaknya SDM yang tersedot. Padahal sebuah lembaga pers dinilai bukan dari banyak dan gedenya acara seremonial atau kegiatan tahunannya, tapi dari media terbitannya. Baik intensitas maupun kualitas.
Aku jadi paham sekarang. Kenapa mahasiswa fakultas ini terlalu cuek dengan majalah Indikator? Yach salah satu faktor penyebabnya apalagi kalau bukan terlalu seringnya majalah absen dari kehidupan mereka. Sudah bahasannya bisa membuat otak orang awam mengkerut, tak pernah terbit pula. Akibat yang diperoleh? Jelas kekecewaan bagi yang tertarik akan majalah ini, sehingga mulai lupa dan lama kelamaan enggan untuk membaca. Lalu yang cuek bebek akan majalah semakin tak mengenal. Bagus.
Kini, ketakutan itu agaknya mendekati kenyataan. Majalah berantakan. Tergarap sih, tapi masih menyisakan ironi. Sense terhadap majalah mulai berkurang (kalau tak mau disebut tak ada). Ah, apapun itu aku tetap pada prinsip awalku menerbitkan majalah sesuai kesepakatan. Tapi, ketika aku ngotot untuk menggarap majalah yang lain sudah pada sibuk di seremoni. Kupaksakan untuk tetap jalan walau hanya dengan beberapa orang. Tapi lagi-lagi sebuah celetukan menyesakkan mampir ke telinga ini, "kok majalah terkesan makin ekslusif?", atau "emang dengan orang segitu, keputusannya valid?" Untuk pertanyaan pertama. Keinginan untuk membuat kesan ekslusif untuk majalah adalah harga mati. Karena, inilah tempat kita untuk menunjukkan pada dunia luar siapa kita. Sebuah lembaga pers mahasiswa yang dinilai dari kualitas medianya bukan dari EO-EOannya. Aku tak mau ambil pusing dengan kata-kata miring mereka. Toh, aku tetap bersandar pada komitmen MATI (kalau ada yang masih ingat), komitmen kita bersama. Pertanyaan kedua tak perlu dijawab kan? sudah barang tentu valid. Dasarnya apa? lagi-lagi komitmen teman-teman dulu saat merengek minta seremonial tahunan itu diadakan. Waktu itu aku ingat betul semuanya setuju untuk tetap berkomitmen pada majalah walaupun seremonial sialan itu diadakan. Nyata kini? jawab sendiri.
Kini, yang tersisa adalah keputusasaan. Kelelahan. Tak salah jika seorang Ferdi harus menyerah. Ketika semangat menggebu-gebu untuk menerbitkan beberapa edisi, akhirnya harus menerima kenyataan hanya menerbitkan satu majalah akibat seremoni itu tadi. Kini aku tak tahu lagi harus bagaimana. Putus asa aku dengan semua ini. Aku pun tak yakin akan masa depanku di organisasi ini.
Haruskah bertahan atau mundur. Bertahan dengan sejuta beban atau mundur sebagai pecundang. Mundurpun tak masalah bagiku. CV bukan yang aku cari di organisasi, kebanggaan iya tapi akan sia-sia jika mengandalkannya, jabatan? no, tapi pengabdian dan cita-cita untuk membuat organisasi ini lebih baik.
Buat teman-teman indikator yang nyasar ke blog ini atau ada bujukan setan untuk membuka blog ini, PR kita Majalah 41 sudah terbit dan belum nyampai ke mahasiswa gimana kalau kita bakar saja? setuju? Gimana kalau majalah edisi selanjutnya ditiadakan saja? setuju gak? kan enak gak usah repot-repot bikin tema, dikejar-kejar deadline, gak usah ngeliat Pimred jelek itu mutung, yang pasti enjoy aja. Enak banget. Aku juga ngelu rek, dikasih beban 3 majalah. Gak salah kalo orang tua-tua itu bilang jabatan Pimred itu terkutuk banget.
Buat teman-teman indie 2005, maaf kalau aku terlalu cuek dengan acara kalian.Buat teman-teman yang laen maaf bukan bermaksud menjelek-jelekkan tapi itulah kenyataannya.

One Response so far.

  1. Anonymous says:

    Tumpukn tk brdaya di sdt ruangn itu adlh hsl krja krs Qt.Mmbakar mrk,sm aj mmbunuh apa yg slama ini Qt prjuangkn.Mjd sia2.Mskpn trsndt,prjuangn itu ttp akn jln kok.Spt kt Ms Eko sndr,Ideal tk slalu real.Kdng Qt ngrasa hnya stitik bintang kcl di hmprn langit luas,tp Qt kn tetep brusaha utk brsnr?Mskpn snrnya redup.Di skliling Qt msh ada bintang2 lain yg mnemani.Mutung,cm plampiasn sesaat.Itu proses,tp g akn menylesaikn mslh.Mimpi itu g akn trwujud kcuali Qt bngun esok hr n brniat mwujudkannya.So,tunggu apalg?Jgn trs diem di t4,skrg wktunya bngun n mngejar mimpi Qt!!