By Eko NP Andi | Tuesday, June 30, 2009
Posted in: | 0 komentar

Madakaripura Waterfall

Setelah mimpi ke Trowulan terwujudkan, maka perjalanan selanjutnya adalah air terjun Madakaripura. Di tempat inilah, dibawah air terjun Madakaripura, Gajah Mada bersemedi mendekatkan diri dengan Sang Pencipta dan, konon, hingga moksa.
Air terjun Madakaripura sendiri terletak di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo. Bersama Arif dan Mas Pandu, hari Minggu (28/06/09) kemarin, kami berangkat menuju Madakaripura dari Malang sekitar pukul 11. Motor kami pacu rata-rata dalam kecepatan 70 km/jam. Perjalanan menuju lokasi lumayan mengasyikan, dengan jalan aspal berkelok-kelok dan semakin menarik mendekati lokasi air terjun.
Kami sampai di Madakaripura kira-kira pukul 2, di depan pintu gerbang kami harus membayar uang masuk sebesar Rp. 2. 500/ kepala. Selembar uang sepuluh ribuan aku berikan, dan menerima pengembalian sebesar Rp. 2. 000. Lho? Ternyata tidak ada kembaliannya, ya sudah lah.

Setelah memarkir dua tunggangan kami, yang dikenai Rp. 1. 000/ motor, datanglah pemandu yang menawarkan jasa mengantar hingga ke air terjun. Sebenarnya kami tidak terlalu membutuhkan jasanya, tapi karena bapak, yang akhinya kutahu namanya Pak Siplin (55 th), itu gigih akhirnya kami pakai juga jasanya. Karena menurut beberapa referensi yang aku cari tarif sewa pemandu ini sebesar 30-50 ribu, maka kami mencoba menawar harga, tapi bapak itu tak hanya bilang “yah, terserah masnya saja..”. Satu masalah selesai pikirku, berarti dia mau dibayar berapa aja. Hehehe…
Perjalanan menuju air terjun kira-kira 2 km dari pintu masuk, menyeberangi sungai yang berbatu, menyusuri jalan setapak hingga air terjun. Bagi yang sering melakukan trekking mungkin tidak akan bermasalah, tapi bagi yang tak pernah ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan. Aku memilih menikmati perjalanan (dan menemani mas Pandu yang sepertinya lumayan tersiksa. Hehehe…) dan menyerahkan pak Siplin pada Arif untuk mengajak berbincang.
Setelah melewati pos di bekas jembatan, yang menurut penuturan Pak Siplin hancur karena banjir bandang beberapa tahun lalu, sudah terlihat air terjun Madakaripura. Setelah menuruni sungai, kami mulai memasuki air terjun pertama yang menyerupai tirai. Beberapa orang mengingatkan derasnya air yang turun seperti hujan dengan menawarkan payung dan juga tas kresek agar barang bawaan tidak basah. Kami hiraukan tawarannya, karena ingin merasakan kenikmatan berhujan-hujan.
Mendekati air terjun, jalanan semakin sempit dan untuk sampai di air terjun utama kita harus menapaki batuan terjal dan licin. Air terjun utama ini menyerupai sumur, berada di bawahnya seakan kita berada di dasar sumur. Di tengah air terjun tersebut terdapat sebuah lubang, di situ dipercaya sebagai tempat Gajah Mada bersemedi. Cipratan air yang turun sangat deras, hingga menyebabkan kami tidak banyak mengabadikan keindahan air terjun ini.
Setelah puas berbasah-basahan, kami memutuskan kembali. Sebelum menyusuri jalan pulang, kami beristirahat sejenak untuk menimati kopi hangat dan gorengan bersama Pak Siplin. Sekalian untuk mengakrabkan diri dengan Pak Siplin, yang sedari tadi aku acuhkan, serta ibu pemilik warung. Dari mereka berdua aku mengetahui, bahwa awal dibukanya Madakaripura untuk umum adalah tahun 1981.
Setiap bulan-bulan tertentu di Madakaripura ini diadakan acara tayuban untuk keselamatan masyarakat sekitar. Ada cerita menarik mengapa dipilih acara tayub, karena dulu pernah pengelola dan masyarakat sekitar mengadakan acara dangdutan tapi rupanya penunggu Madakaripura tidak berkenan, maka datanglah banjir bandang. Sejak saat itu penduduk menggelar acara tayuban lengkap dengan ledre-nya.
Setelah ngobrol dan kopi pun habis kami melanjutkan perjalanan kembali. Untuk mengganti jasa pak Siplin kami menyerahkan uang Rp. 20. 000 dan kutawarkan sebatang rokok yang tersisa. Sekitar pukul 4 kami memutuskan pulang kembali ke Malang dan tawaran mas Pandu mengisi perut di Rawon Nguling awalnya bukan ide bagus, tapi setelah mas Pandu dengan “senang hati” bersedia membayari akhirnya jadi ide yang bagus. Hehehe… Ternyata, menurutku yang bukan ahli kuliner, rasanya biasa saja, tidak jauh berbeda seperti rawon-rawon kebanyakan, malah lebih enak rawon buatan ibu.
Sampai Malang jam menunjukkan pukul 7 malam, dan menyisakan kepuasan. Satu lagi jejak Majapahit kukunjungi, menyusul berikutnya beberapa tempat lagi.

Catatan:
Keindahan air terjun Madakaripura ternyata masih harus banyak dibenahi. Terlalu besarnya peran masyarakat dalam pengelolaan air terjun ini terasa mengganggu kenikmatan berwisata ke tempat ini. Sepertinya dinas terkait menyerahkan pengelolaan lokasi ini kepada penduduk sekitar. Mulai dari ticketing hingga guiding perlu dibenahi.
Ketika parkir, masing-masing kendaraan sudah dikenai biaya, ketika kami akan meninggalkan lokasi kami dimintai biaya tambahan untuk biaya cuci motor sebesar Rp. 3. 000/ motor. Nah lo, siapa coba yang minta di cucikan?
Kemudian juga untuk pemandu, tidak adanya standar besaran biaya yang jelas mengakibatkan pemandu seenaknya sendiri menetapkan harga. Rata-rata biaya yang diminta antara Rp. 20. 000 – Rp. 50. 000 untuk pengunjung lokal, dan Rp. 100. 000 untuk wisatawan asing. Tapi dilapangan kemarin, kami mendapati seorang bule dan dua orang teman lokalnya dimintai duit tambahan, setelah si bule menyerahkan Rp. 200. 000 kepada pemandu. Kemudian juga si wisatawan (yang katanya dari India) juga yang protes karena terlalu besarnya uang yang diminta. Jadi, sebaiknya ditetapkan berapa nominal yang harus di kenakan untuk jasa pemanduan tersebut, agar pengunjung dan pemandu saling diuntungkan.

Tips:
- Sebaiknya jangan menggunakan alas kaki dari kulit, lebih baik pakai sendal jepit atau tanpa alas kaki sekalian.
- Bawa juga tas plastik jika tidak ingin barang-barang bawaan basah.
- Untuk kenikmatan mengabadikan gambar sebaiknya bawa kamera SLR atau setidaknya lensa kamera terlindung dari air, karena cipratan air bisa mengganggu keindahan berfoto ria.
- Sebelum jalan, sebaiknya tanyakan dulu nominal yang diminta untuk jasa pemandu agar tidak kecele.

Read more