By Eko NP Andi | Sunday, September 24, 2006
Posted in: | 0 komentar

Yakinkan Aku...

Aku tahu...
Ya, aku sudah lama tahu itu...
Semua itu... Entah apa aku tak tahu,

Atau aku tak mau tahu?

Karena aku yakin...
Ya, keyakinan itu...
Keyakinan yang aku tak tahu kapan berasal mula
Keyakinan yang aku tak tahu darimana datangnya
Keyakinan yang selama ini membelengguku untuk selalu menunggu
Keyakinan yang selama ini coba untuk aku enyahkan
Tapi, tak bisa...

Sering aku tergoda untuk berpaling
Menikmati kasih yang lain
Namun, selalu saja keyakinan itu... (yang aku tak tahu berapa besarnya)
Memaksa aku untuk meneguhkan hati
Bersabar, mungkin itu sudah cukup untuk menghiburku

Dan kini...
Setelah semua waktu yang berjalan
Setelah semua yang telah terlewat
Dengan atau tanpamu
Aku masih meyakinkan hati dan ragaku
Untuk tetap menunggumu

Naif...
Ya, terlalu naif memang
Toh, kenaifan-kenaifan itulah yang membangun keyakinanku selama ini
Toh, kenaifan itu tak mengurangi rasa sayangku padamu

Jadi, kenapa sampai hari ini kau tetap diam?Atau aku yang selama ini diam?
Tak kau sambut cintaku?Atau aku yang selama ini tak tahu sambutan cinta itu?
Jadi, sekarang aku ingin kau tahu itu. Semua perasaan ini.

Yakinkan aku, jika selama ini aku salah memilihmu.
Yakinkan aku, jika selama ini aku selalu jadi penganggumu
Yakinkan aku, jika selama ini kau tak merasa seperti yang kurasa
Yakinkan aku, bahwa kau bukan yang dipilihkan-Nya untukku
Yakinkan aku, wahai perempuanku...


03. 30 WIB
Malang
, 23 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 1 komentar

Untuk Seseorang Di Sana

Apa kabarmu hari ini?
Semoga keceriaan masih bersamamu
Menemani hari-harimu
Semoga masih bisa ku tatap senyum dari bibirmu

Apa kabarmu kemarin?
Semoga waktu yang berlalu indah bagimu
Menumbuhkan semangat untuk keesokan harinya
Semoga masih bisa kupandang tatap mata penuh semangat itu

Apa kabarmu hari ini?
Semoga sakit itu cepat berlalu
Menanti berharap cemas akan berlalu derita itu
Semoga masih bisa kutemui sosok tegar dibalik tubuh sakit itu

Semoga masih bisa ku tatap sosok tegar dibalik tubuh itu
Sosok selalu jadi misteri bagiku
Sosok yang tetap tegar walau pahit sebenarnya terasakan hidup
Namun senyum, keramahan itu menyirnakan semua kepahitan itu
Hilang seolah tak pernah ada

Lekas sembuh ya…?

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 0 komentar

Adalah...

Adalah sebuah pilihan
Ketika aku memutuskan untuk menaruh hati padamu
Membiarkan semua rasa berkecamuk tentangmu
Membiarkan malamku selalu dihantui oleh dirimu

Adalah sebuah keyakinan
Ketika kupercayakan hati ini mencintaimu
Membiarkan semua keluh kesah semburat kepadamu
Membiarkan celotehmu membanggakanku

Adalah sebuah kegalauan
Ketika membulatkan tekadku memilikimu
Membiarkan mulut ini jujur padamu
Membiarkan gumpalan rasa ini tumpah padamu

Adalah sebuah pilihan
Ketika aku memilih tetap memilihmu
Membiarkan semua kegalauan itu
Membiarkan pilihan dan keyakinanku
Berakhir padamu.

I can erase U from my life. I ever tried this. And unsuccessful.
I can’t leave your face from my memory.
And I hope U now if I’m really really love you.
Trust me.

Malang, 10 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, September 13, 2006
Posted in: | 1 komentar

I know, (If) I can

Oke, aku gak tau kenapa jadi mellow begini. Abis mbaca novelnya Ninit “Test Pack” kok gak tau kenapa perasaan jadi aneh begini. Walaupun sebelumnya juga udah aneh sie... :). Abis novelnya bagus banget. Membaca novel itu membuat terhanyut ama suasana yang dibangun ibu beranak satu itu. Kita disadarkan bahwa sebuah pernikahan gak cukup hanya dinilai dari berapa banyak harta yang kita punya, berapa anak yang udah berhasil ditetaskan (emangnya ayam...). Lagi-lagi sebuah komitmen menjadi pilihan terakhirnya. Keberhasilan sebuah pernikahan gak cukup jika hanya diukur dari kehadiran seorang anak. Saling mengerti dan mengenal satu sama lain adalah jawaban terakhir dari semuanya. Untuk membuka kunci sebuah kamar bernama komitmen.
Yah, cinta memang tak hanya bisa diukur oleh segala sesuatu yang bisa dihitung, bisa divisualkan. Kadang memang sesuatu yang tak logis, childish malah bisa menjadi sebuah garansi kelanggengan. Tak selamanya logika harus mendominasi. Tak selamanya pula hal-hal diluar itu tak berarti. Ada saatnya logika mengalah. Terlalu sering berlogika malah semakin memperumit keadaan. Keep enjoy with your love. It’s that too simple for it. Yeah I know but I believe it’s enough.Enough. Try.
Membaca novel itu mengingatkan aku pada seseorang yang ada disana. Perempuan yang selama ini selalu jadi motivator dalam hidupku. Terlalu berlebihan kali ya..., tapi itulah kenyataannya. Dan sampai detik ini perempuan ini masih menjadi motivator. Walaupun sampai detik ini dia tetap tak membiarkan hatinya untuk menoleh padaku. But I believe she’ll become my girlfiend. Hanya kalimat itu yang selama ini aku hafalkan, ketika semua pesimistis mulai menggelantungi.
Kesal juga sih, melihat semua respon yang ia berikan. Harapan-harapan yang aku susun selalu saja hancur olehnya. Semua laku yang ia tampakkan membuat keyakinan itu menipis. Tapi keyakinan itu masih ada, walaupun tak tahu sebesar apa. I try to keep survive with this matter. Tapi, teman-teman selalu marah ketika aku menceritakan tentangya. Tentang bagaimana respon yang diberikannya. Tentang bagaimana timbal balik dari semua perhatianku. Selalu yang muncul dari mulut mereka adalah ucapkan “lupakan”, “tinggalkan”, “cari yang lain saja lah”. Maaf teman, untuk kali ini aku tak mendengarkan kata-katamu. Karena aku (masih) yakin akan keputusanku.


01. 45 WIB
Malang, 11 September 2006

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, September 07, 2006
Posted in: | 1 komentar

Ketakutan Itu...

Masih ingat dulu diawal-awal kepengurusan. Ketika timbunan semangat berserakan disana-sini. Ketika otak masih dipenuhi oleh ketamakan (ingin melakukan segalanya dan sebanyak-banyaknya). Semua keinginan itu membuncah dan memuncrat begitu saja. Akhirnya, hanya untuk mengejar kata "lebih baik dari kemarin" semua keinginan itu teragendakan dalam kalender.
Muncul banyak ketakutan disitu. Ketakutan-ketakutan yang kadang tak terkatakan oleh lisan. Ketakutan yang kadang tak beralasan, tapi dapat dijelaskan oleh logika. Tapi kemudian-setelah berbicara dengan beberapa teman- kuputuskan untuk coba menyingkirkan ketakutan itu.
Sebuah ketakutan muncul tatkala IOF akan diadakan. Seperti biasa setiap tahun acara ini rutin digelar, yah semacam seremonial tahunan memperingati dies natalies organisasi. Dalam forum rapat seringkali coba untuk kusanggah pendapat teman-teman untuk menyelenggarakan acara ini. Alasan yang aku lontarkan tak jauh-jauh. Melongok ke belakang acara itu setiap tahunnya selalu membawa mudharat. Ambil contoh majalah, setiap kali ada acara ini bisa dipastikan majalah akan bertekuk lutut dihadapannya. Menyingkirkan sejenak keinginannya untuk sesering mungkin diterbitkan. Akibat dari banyaknya SDM yang tersedot. Padahal sebuah lembaga pers dinilai bukan dari banyak dan gedenya acara seremonial atau kegiatan tahunannya, tapi dari media terbitannya. Baik intensitas maupun kualitas.
Aku jadi paham sekarang. Kenapa mahasiswa fakultas ini terlalu cuek dengan majalah Indikator? Yach salah satu faktor penyebabnya apalagi kalau bukan terlalu seringnya majalah absen dari kehidupan mereka. Sudah bahasannya bisa membuat otak orang awam mengkerut, tak pernah terbit pula. Akibat yang diperoleh? Jelas kekecewaan bagi yang tertarik akan majalah ini, sehingga mulai lupa dan lama kelamaan enggan untuk membaca. Lalu yang cuek bebek akan majalah semakin tak mengenal. Bagus.
Kini, ketakutan itu agaknya mendekati kenyataan. Majalah berantakan. Tergarap sih, tapi masih menyisakan ironi. Sense terhadap majalah mulai berkurang (kalau tak mau disebut tak ada). Ah, apapun itu aku tetap pada prinsip awalku menerbitkan majalah sesuai kesepakatan. Tapi, ketika aku ngotot untuk menggarap majalah yang lain sudah pada sibuk di seremoni. Kupaksakan untuk tetap jalan walau hanya dengan beberapa orang. Tapi lagi-lagi sebuah celetukan menyesakkan mampir ke telinga ini, "kok majalah terkesan makin ekslusif?", atau "emang dengan orang segitu, keputusannya valid?" Untuk pertanyaan pertama. Keinginan untuk membuat kesan ekslusif untuk majalah adalah harga mati. Karena, inilah tempat kita untuk menunjukkan pada dunia luar siapa kita. Sebuah lembaga pers mahasiswa yang dinilai dari kualitas medianya bukan dari EO-EOannya. Aku tak mau ambil pusing dengan kata-kata miring mereka. Toh, aku tetap bersandar pada komitmen MATI (kalau ada yang masih ingat), komitmen kita bersama. Pertanyaan kedua tak perlu dijawab kan? sudah barang tentu valid. Dasarnya apa? lagi-lagi komitmen teman-teman dulu saat merengek minta seremonial tahunan itu diadakan. Waktu itu aku ingat betul semuanya setuju untuk tetap berkomitmen pada majalah walaupun seremonial sialan itu diadakan. Nyata kini? jawab sendiri.
Kini, yang tersisa adalah keputusasaan. Kelelahan. Tak salah jika seorang Ferdi harus menyerah. Ketika semangat menggebu-gebu untuk menerbitkan beberapa edisi, akhirnya harus menerima kenyataan hanya menerbitkan satu majalah akibat seremoni itu tadi. Kini aku tak tahu lagi harus bagaimana. Putus asa aku dengan semua ini. Aku pun tak yakin akan masa depanku di organisasi ini.
Haruskah bertahan atau mundur. Bertahan dengan sejuta beban atau mundur sebagai pecundang. Mundurpun tak masalah bagiku. CV bukan yang aku cari di organisasi, kebanggaan iya tapi akan sia-sia jika mengandalkannya, jabatan? no, tapi pengabdian dan cita-cita untuk membuat organisasi ini lebih baik.
Buat teman-teman indikator yang nyasar ke blog ini atau ada bujukan setan untuk membuka blog ini, PR kita Majalah 41 sudah terbit dan belum nyampai ke mahasiswa gimana kalau kita bakar saja? setuju? Gimana kalau majalah edisi selanjutnya ditiadakan saja? setuju gak? kan enak gak usah repot-repot bikin tema, dikejar-kejar deadline, gak usah ngeliat Pimred jelek itu mutung, yang pasti enjoy aja. Enak banget. Aku juga ngelu rek, dikasih beban 3 majalah. Gak salah kalo orang tua-tua itu bilang jabatan Pimred itu terkutuk banget.
Buat teman-teman indie 2005, maaf kalau aku terlalu cuek dengan acara kalian.Buat teman-teman yang laen maaf bukan bermaksud menjelek-jelekkan tapi itulah kenyataannya.

Read more
By Eko NP Andi | Thursday, September 07, 2006
Posted in: | 0 komentar

Senyum sejuta...

Senyuman membawa sejuta prasangka dan pesan. Tak selamanya senyuman selalu menggambarkan kepuasan, keceriaan, dan kebahagiaan. Terkadang senyuman juga terasa menyakitkan. Karena senyum tetap membawa misteri. Tak semua senyum setulus rupanya. Terkadang indah dalam nyata, tapi sesak terasa di dada.
Misteri rupa senyum itu kini menghantuiku. Membakar api dendam, api persaingan yang tajam. Senyum mengejek lebih tepatnya. Terasa sekali menumbuhkan adrenalinku, adrenalin untuk membalikkan semua yang dimunafikkannya, tak diakuinya, atau tak diakuinya.
Kadang kita terlena oleh sebuah senyum, yang kadang kita sendiri masih harus berprasangka, harus bertarung melawan mata hati mengartikan maksud senyuman itu. Sebuah anugrah bagi kita ketika berhasil mengartikan bahwa senyum darinya tulus. Akan jadi masalah ketika senyum itu bertepuk sebelah tangan, ketika tiba-tiba pilihan kita salah. Ternyata senyumnya menyakitkan.
Pekerjaan rumah bagiku dan mungkin sebagian orang lainnya. Untuk mengartikan sebuah senyum.

Read more
By Eko NP Andi | Tuesday, September 05, 2006
Posted in: | 0 komentar

Mata Itu...

Ketika tatapan seolah menghakimi. Terasa sesak dalam dada, menggelapakan satu sisi nurani. Sorot mata itu. Ya, aku takut. Takut sekali. Aku merasa asing, seolah aku berada pada sebuah tempat yang sama sekali baru bagiku. Aku merasa salah. Semua yang aku lakukan salah. Serba salah lebih tepatnya. Logika sudah tak bisa diajak berkompromi lagi. Tiap kali ia mengajak untuk meluruskan, lagi-lagi makhluk merah bertanduk itu muncul dan meracuni setiap mili pembuluh di darahku. Prasangka. Yup, itulah dia.
Sah-sah saja kita berprasangka. Apalagi pada sorot mata itu. Mata sejuta manusia. Mata-mata yang tak dapat kuartikan maksudnya. Tak dapat kutangkap sinyal apa yang dia berikan padaku.
Kosong. Seperti itulah, ketika sorot mata mereka memandangku. Kecil. Aku jadi kecil dihadapan mereka.
Ingin rasanya aku keluar dari semua prasangka itu dan mencoba bersikap acuh pada semua itu. Aku yakin aku bisa. Tapi, entah kenapa seluruh tubuhku terasa berat. Ketika sorot mata mereka menghujamku. Tak kuasa melawan sorot matanya. Dan tak kuasa untuk menolaknya. Yah, akhirnya sebuah tempat di pojok ruangan akan jadi tempatku meringkuk. Meringkuk dalam kesendirian. Terasing dalam sebuah komunitas.
Hemm… Cukup!!! Kini aku tak akan peduli. Terserah mata itu mau menatapku seperti apa. Aku hanya tahu satu “aku percaya dengan semua tindakanku”.

Read more