Posted in:
By Eko NP Andi 1 komentar

Sepotong Kisah dari Stasiun

Cerita ini terjadi di tahun 2004, tentang sebuah perbincangan tak disengaja. Perbincangan yang kemudian membuatku terpana, manakala kuketahui sosok yang kuajak bercengkerama itu berprofesi sebagai pengedar ganja.
Ceritanya, pada hari itu (kalau tidak salah adalah hari minggu) aku sedang menunggu kedatangan seorang teman di Stasiun Kota Malang. Saat itu aku masih belum membawa handphone, jadi kedatangan teman itu di konfirmasikan lewat pesawat telepon yang ada di Indikator. Teman tersebut mengatakan bahwa sejam atau setengah jam lagi akan tiba. Mengingat jadwal kereta api yang tak pernah on-time, aku memutuskan segera saja berangkat setelah menerima telepon darinya.
Berbekal motor pinjaman dari anak-anak indikator, aku bergegas menuju Stasiun. Sampai di stasiun kutanyakan pada salah satu orang yang ada disana, jam berapakah kira-kira temanku itu akan sampai. “Wah sek suwi dek..Sak jaman engkas paling lek gak molor..”, begitu kata bapak yang berdiri di pintu masuk stasiun.
Walah, lama banget nek gitu, pikirku. Ya sudah lah, lebih baik ditunggu di depan saja sambil menikmati rokok dan segelas es degan lumayan juga untuk mengusir jenuh. Kupesan segelas es degan dari seorang bapak yang sedari tadi sudah mangkal di samping gerobak dagangannya itu. Sambil menunggu pesananku yang sedang dibuat, kunyalakan sebatang rokok.
Saat sedang asyik-asyiknya menikmati lamunan aku dikejutkan oleh seseorang yang menyolek tubuhku. Seseorang berbadan tak seberapa besar, dan berusia kira-kira dua puluh limaan itu sudah berhadapan denganku. “Mas, punya korek?”, katanya dengan rokok yang terselip diantara jemari tangannya. Ah, dia pasti tahu aku punya korek karena sedari tadi rokokku masih menyala. “Oh, ada mas...” sambil kusodorkan korek kepadanya. Setelah menerima korek itu, disulutnya 76 yang dibawanya.
Beberapa saat kemudian dia juga memesan segelas es degan. Lalu terjadilah perbincangan kecil diantara kami. Setelah sebelumnya kutanya hal remeh temeh sebagai pengantar berbasa-basi khas wartawan amatir. Aku tahu kalau orang ini hendak ke Blitar, ke kampung halamannya, setelah bertemu dengan seorang temannya yang katanya mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di kota ini, setelah kutanya tentunya.
Pembicaraan yang awalnya menjemukan itu berubah menjadi menarik, setelah yang bersangkutan, sebut saja Agus, bercerita banyak hal tentang dirinya. Agus yang anak Blitar itu, bercerita tentang bisnis yang dilakukan dengan temannya. Aku awalnya nggak ngeh, bisnis apa yang dilakukannya, karena sedari tadi aku hanya berekspresi datar-datar saja, karena ke-tidakngehan-ku. Mataku baru terbelalak saat kutahu ternyata dia sedang menyetok ganja (dia menyebutnya ijo untuk barang dagangannya itu) buat kawannya itu. Jadi ini tho, bisnis mereka itu, kataku dalam hati.
Merasa pembicaraan semakin menarik, aku jadi semakin antusias saja mendengarkan cerita Agus. Kutanyakan banyak hal kepadanya. Tentang darimana dia mendapatkan ganja, berapa kali dia kirim, menggunakan apa, hingga ke berapa harga tiap paket ganja itu. Dari jawaban-jawaban yang diceritakannya, aku baru tahu kalau selama ini dia mendapatkan barang-barang itu dari daerah-daerah di sekitar tapal kuda. Jember, Probolinggo, Lumajang, bahkan sampai Banyuwangi. Dan tiap bulan sekali dia menyetok temannya itu, yang ternyata juga seorang pengedar.
Selama ini, Agus hanya berani menggunakan angkutan umum seperti kereta api untuk membawa barang-barang dagangannya itu. “Lebih aman mas, nggak pernah ada operasi”, katanya. Pernah suatu ketika dua orang temannya yang berprofesi serupa, membawa ganja dalam jumlah besar dari Probolinggo terciduk aparat keamanan gara-gara kena razia ketika hendak memasuki Malang. Setelah itu, Agus yang sebelumnya menggunakan jasa travel tak berani lagi menggunakan angkutan darat selain kereta api. Memang sih, kereta jarang ada razia, selain razia penumpang tanpa tiket yang rutin dilakukan.
Tak terasa, waktu terus berputar. Lewat pengeras suara stasiun, kudengar kereta yang membawa temanku dari Surabaya sesaat lagi akan datang. Si Agus rupanya masih antusias bercerita. Sebelum berpamitan, kudengar dia berkata bahwa sebenarnya dia sudah lelah melakukan kegiatan yang tidak halal itu. Dia ingin berhenti dari dunia itu, setelah dua orang temannya mendekam di tahanan, yang menurutnya peringatan dari Tuhan bagi dirinya untuk berhenti. “Lalu, sampeyan mau kerja apa Mas?” tanyaku. “Yah, kerja apa lah mas...Pokoknya nggak gini. Kemarin sih ditawarin tetangga saya kerja jadi montir di rumah.” Katanya dengan sebuah keyakinan. Keyakinan untuk sebuah perubahan. Keyakinan untuk tak lagi kembali ke dunia hitam itu lagi.
Setelah itu, perbicangan kami selesai dan tak pernah bertemu lagi. Nomor telepon yang ditinggalkannya untukku pun hilang entah kemana, sebelum aku sempat menghubunginya. Entah bagaimana dia sekarang. Sudahkah dia berhenti jadi pengedar ganja? Ah, hanya dia dan Tuhan yang tahu...

Karena sudah lama aku lupa siapa nama Agus yang sebenarnya. Jadi pengen ketemu dia lagi...

One Response so far.

  1. kayak laporan invest yahhh,,, heheheh
    .
    .
    cuma lebih membumi... alaaaah :d