By Eko NP Andi | Thursday, January 29, 2009
Posted in: | 0 komentar

Finishing Touch Lemah, Tiga Poin Melayang

Target timnas meraih hasil “minimal” imbang dalam laga melawan Australia semalam tercapai. Pertandingan semalam seharusnya kita bisa membawa pulang tiga poin. Jika melihat serangan yang dilancarkan sebenarnya minimal 2 gol harusnya bersarang di gawang Australia.

Sejak awal aku sudah memperkirakan formasi yang digunakan seperti yang ditampilkan Bendol semalam. Empat bek sejajar, dua gelandang bertahan, seorang playmaker, dua sayap yang berotasi, dan seorang target man. Dalam preview kemarin formasi itu adalah 4-2-3-1. yang cukup mengejutkan adalah tampilnya Talaohu Abdul Musafry sebagai starter menggantikan peran Bambang Pamungkas. Selain itu tak ada perubahan yang berarti.

Dalam pertandingan tersebut, barisan pertahanan Indonesia bermain cukup rapi. Jebakan-jebakan off-side berjalan baik. Komunikasi di lini ini sudah mulai membaik. Peran dua gelandang bertahan yang diemban oleh Ponaryo dan Hariono juga sangat bagus. Kredit poin layak diberikan pada pemain debutan, Hariono, yang berkali-kali berhasil meng-intercept serangan Australia sebelum memasuki jantung pertahanan kita. Pemain yang satu ini tak henti-hentinya berjibaku dengan para pemain Australia.

Peranan pasukan penyerangan juga sebenarnya tak kalah bagusnya, hanya saja seringkali terlambat mengambil keputusan dan komunikasi yang sering terputus. Beberapa kali terjadi miss communication. Entah itu Firman, Boaz, Budi, atau pun Musafry. Akibatnya, pola serangan yang sudah terbangun jadi sia-sia. Boaz Solossa sepertinya masih belum mampu menunjukkan performa terbaiknya, walau beberapa kali akselerasinya menyulitkan pemain bertahan Australia. Dua kali cedera parah masih menjadi trauma bagi pemain masa depan ini.

Memasuki babak kedua, Indonesia bermain lebih bagus menurutku. Indonesia boleh dikata bermain dengan sebagai mana mestinya. Bola-bola pendek, cepat. Tapi permasalahannya ya itu tadi, finishing touch, komunikasi, dan pengambilan keputusan masih mengganjal.

Masuknya Ellie Aiboy, Bambang, dan Erol FX Iba juga tak menyelesaikan masalah ini. Peluang terbaik dimiliki Budi Sudarsono. Hanya saja sundulannya menyambut umpan silang Ellie tak sempurna. Hilang sudah kesempatan membuka skor.

Satu angka yang diraih Indonesia, memang cukup disayangkan. Bermain melawan tim yang tidak dalam kondisi seratus persen fit, kita tak mampu memenangkan pertandingan. Apalagi permainan Indonesia juga cukup bagus. Aku kira semua orang setuju, seharusnya Indonesia bisa meraih tiga poin.

Namun, yang perlu dipikirkan saat ini adalah menjaga konsistensi permainan seperti ini. Dengan 2 poin yang sudah diperoleh, kesempatan menuju putaran final Piala Asia 2011 masih terbuka. Dan, tidak menutup kemungkinan, jika permainan timnas semakin membaik, lolos dari grup neraka ini. Viva Indonesia!!! (DenMasKodox’s)

Read more
By Eko NP Andi | Wednesday, January 28, 2009
Posted in: | 1 komentar

Menunggu Kejutan Indonesia Lagi...

Laga kedua timnas Indonesia di ajang Pra Piala Asia 2011 beberapa jam lagi akan berlangsung. Bertindak sebagai tuan rumah, seharusnya peluang meraih hasil maksimal terbuka lebar. Setelah mampu menahan tuan rumah Oman bermain imbang tanpa gol, motivasi pemain Indonesia sedang bagus. Apalagi tim tamu, Australia, juga tidak akan diperkuat oleh punggawanya yang merumput di Eropa. Australia "hanya" menurunkan tim yang mayoritas pemainnya bermain di liga lokal serta minim pengalaman internasional.
Apalagi menurut berita yang aku baca di Jawa Pos, kemarin pagi, Pim Verbeek (pelatih Australia) kemungkinan besar tidak akan berada di bench tim asuhannya itu. Pelatih asal Belanda tersebut dikenai sanksi oleh AFC, 3 kali larangan mendampingi tim asuhannya. Sanksi itu didapatkannya saat mendampingi Korsel dalam perebutan tempat ketiga Piala Asia 2007 silam.

Menyerang dan Bertahan
Kesempatan untuk meraih poin tetap terbuka bagi timnas. Disiplin adalah kunci utama, jika pasukan merah putih ingin meraih hasil maksimal. Saat menyerang dan bertahan.
Formasi 4-4-2 boleh dikata adalah formasi yang ideal menurutku untuk pertandingan kali ini. Duet Bambang-Boaz layak dicoba, dengan Arif Suyono dan Budi sebagai penopang serangan di sektor sayap. Firman Utina sebagai sang pengatur serangan dibantu Harianto yang di Muscat menunjukkan permainan menawan, untuk meredam serangan. Duet center back Charis Yulianto dan Maman, sepertinya tak tergoyahkan untuk menjaga area sentral pertahanan. Selain itu, 4-2-3-1 bisa dijadikan alternatif, dengan memasang BP sebagai penyerang tunggal. Boaz Solossa dan Budi Sudarsono sebagai penopang serangan lewat sisi.
Mengantisipasi postur pemain-pemain Australia yang rata-rata tinggi besar duet big man Charis-Nova bisa jadi alternatif. Atau menggunakan empat big man sejajar.
Sekali lagi, kedisiplinan adalah harga mati jika ingin hasil terbaik, tiga poin. Serta mengurangi kesalahan sekecil apapun.
Oke, sekian dulu preview-nya.

Read more
By Eko NP Andi | Saturday, January 10, 2009
Posted in: | 1 komentar

Sepotong Kisah dari Stasiun

Cerita ini terjadi di tahun 2004, tentang sebuah perbincangan tak disengaja. Perbincangan yang kemudian membuatku terpana, manakala kuketahui sosok yang kuajak bercengkerama itu berprofesi sebagai pengedar ganja.
Ceritanya, pada hari itu (kalau tidak salah adalah hari minggu) aku sedang menunggu kedatangan seorang teman di Stasiun Kota Malang. Saat itu aku masih belum membawa handphone, jadi kedatangan teman itu di konfirmasikan lewat pesawat telepon yang ada di Indikator. Teman tersebut mengatakan bahwa sejam atau setengah jam lagi akan tiba. Mengingat jadwal kereta api yang tak pernah on-time, aku memutuskan segera saja berangkat setelah menerima telepon darinya.
Berbekal motor pinjaman dari anak-anak indikator, aku bergegas menuju Stasiun. Sampai di stasiun kutanyakan pada salah satu orang yang ada disana, jam berapakah kira-kira temanku itu akan sampai. “Wah sek suwi dek..Sak jaman engkas paling lek gak molor..”, begitu kata bapak yang berdiri di pintu masuk stasiun.
Walah, lama banget nek gitu, pikirku. Ya sudah lah, lebih baik ditunggu di depan saja sambil menikmati rokok dan segelas es degan lumayan juga untuk mengusir jenuh. Kupesan segelas es degan dari seorang bapak yang sedari tadi sudah mangkal di samping gerobak dagangannya itu. Sambil menunggu pesananku yang sedang dibuat, kunyalakan sebatang rokok.
Saat sedang asyik-asyiknya menikmati lamunan aku dikejutkan oleh seseorang yang menyolek tubuhku. Seseorang berbadan tak seberapa besar, dan berusia kira-kira dua puluh limaan itu sudah berhadapan denganku. “Mas, punya korek?”, katanya dengan rokok yang terselip diantara jemari tangannya. Ah, dia pasti tahu aku punya korek karena sedari tadi rokokku masih menyala. “Oh, ada mas...” sambil kusodorkan korek kepadanya. Setelah menerima korek itu, disulutnya 76 yang dibawanya.
Beberapa saat kemudian dia juga memesan segelas es degan. Lalu terjadilah perbincangan kecil diantara kami. Setelah sebelumnya kutanya hal remeh temeh sebagai pengantar berbasa-basi khas wartawan amatir. Aku tahu kalau orang ini hendak ke Blitar, ke kampung halamannya, setelah bertemu dengan seorang temannya yang katanya mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di kota ini, setelah kutanya tentunya.
Pembicaraan yang awalnya menjemukan itu berubah menjadi menarik, setelah yang bersangkutan, sebut saja Agus, bercerita banyak hal tentang dirinya. Agus yang anak Blitar itu, bercerita tentang bisnis yang dilakukan dengan temannya. Aku awalnya nggak ngeh, bisnis apa yang dilakukannya, karena sedari tadi aku hanya berekspresi datar-datar saja, karena ke-tidakngehan-ku. Mataku baru terbelalak saat kutahu ternyata dia sedang menyetok ganja (dia menyebutnya ijo untuk barang dagangannya itu) buat kawannya itu. Jadi ini tho, bisnis mereka itu, kataku dalam hati.
Merasa pembicaraan semakin menarik, aku jadi semakin antusias saja mendengarkan cerita Agus. Kutanyakan banyak hal kepadanya. Tentang darimana dia mendapatkan ganja, berapa kali dia kirim, menggunakan apa, hingga ke berapa harga tiap paket ganja itu. Dari jawaban-jawaban yang diceritakannya, aku baru tahu kalau selama ini dia mendapatkan barang-barang itu dari daerah-daerah di sekitar tapal kuda. Jember, Probolinggo, Lumajang, bahkan sampai Banyuwangi. Dan tiap bulan sekali dia menyetok temannya itu, yang ternyata juga seorang pengedar.
Selama ini, Agus hanya berani menggunakan angkutan umum seperti kereta api untuk membawa barang-barang dagangannya itu. “Lebih aman mas, nggak pernah ada operasi”, katanya. Pernah suatu ketika dua orang temannya yang berprofesi serupa, membawa ganja dalam jumlah besar dari Probolinggo terciduk aparat keamanan gara-gara kena razia ketika hendak memasuki Malang. Setelah itu, Agus yang sebelumnya menggunakan jasa travel tak berani lagi menggunakan angkutan darat selain kereta api. Memang sih, kereta jarang ada razia, selain razia penumpang tanpa tiket yang rutin dilakukan.
Tak terasa, waktu terus berputar. Lewat pengeras suara stasiun, kudengar kereta yang membawa temanku dari Surabaya sesaat lagi akan datang. Si Agus rupanya masih antusias bercerita. Sebelum berpamitan, kudengar dia berkata bahwa sebenarnya dia sudah lelah melakukan kegiatan yang tidak halal itu. Dia ingin berhenti dari dunia itu, setelah dua orang temannya mendekam di tahanan, yang menurutnya peringatan dari Tuhan bagi dirinya untuk berhenti. “Lalu, sampeyan mau kerja apa Mas?” tanyaku. “Yah, kerja apa lah mas...Pokoknya nggak gini. Kemarin sih ditawarin tetangga saya kerja jadi montir di rumah.” Katanya dengan sebuah keyakinan. Keyakinan untuk sebuah perubahan. Keyakinan untuk tak lagi kembali ke dunia hitam itu lagi.
Setelah itu, perbicangan kami selesai dan tak pernah bertemu lagi. Nomor telepon yang ditinggalkannya untukku pun hilang entah kemana, sebelum aku sempat menghubunginya. Entah bagaimana dia sekarang. Sudahkah dia berhenti jadi pengedar ganja? Ah, hanya dia dan Tuhan yang tahu...

Karena sudah lama aku lupa siapa nama Agus yang sebenarnya. Jadi pengen ketemu dia lagi...

Read more